Monday, April 10, 2006

Pertanggungjawaban Negara

Pendahuluan

Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan menyebabkan kerugian negara lain. .

Kata-Kata Kunci:

Semua sistem hukum di negara-negara dunia mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi subyek hukum yang tidak mematuhi ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish Zones of Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban negara ialah:

“ Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international character involve international liability. If the obligation is not met, responsibility entails the duty to make raparations”.

Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam draft Pasal-Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal penting (sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90):

a. Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.

Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya adalah pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional ataupun perbuatan melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada perbedaan antara kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional dan tindakan pidana yang memiliki unsur internasional. Dalam draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik internasional sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.

Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which results from the breach by a state of an international obligation so essential for the protection of fundamental interests of the international community that its breach is recognized as a crime by that community as a whole...”

Empat kategori kejahatan internasional adalah:
1) Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
2) Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi kolonial
3) Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui secara mendunia sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat manusia seperti pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan apartheid.
4) Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan pelestarian lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara massal dan mencemari lautan
Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum ditetapkan sebagai kejahatan internasional membuat suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun, banyak hal yang masih kontroversial untuk kasus pidana.

b. Imputability
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara terhadap tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan yang dapat dikaitkan dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara lain:
1) Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai pilar utama pemerintahan (Draft Pasal 6).
2) Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas yang ada di wilayahnya masing-masing (Draft Pasal 5).
3) Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya (Draft Pasal 8)

Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan dengan hukum internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, No 7

1) Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan aparatnya, serendah apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat pula Masey Case (1927) 4 RIAA 15
2) Negara juga bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa membuktikan bahwa tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang melakukan kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3) Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan itu adalah tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926) 4 RIAA 110
4) Negara tidak harus bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing ataupun organisasi internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan 13)
5) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio Claim (1903) 10 RIAA 499
6) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bertindak tidak atas nama negara

c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang melakukan delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti dari kesalahan atau itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim (1929) 5 RIAA 516 “ the doctrine of objective responsibility of the state, that is to say, a responsibility for those acts committed by its officials or its organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society Claim (1920) 6 RIAA 42

d. Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar
Alasan Pemaaf:
1) tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2) tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam hukum internasional
3) ada force majeure

Alasan Pembenar:
1) Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan untuk melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada negara lain yang dirugikan atas tindakan tersebut
2) Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri

e. Reparations
Setiap pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan memunculkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam Chorzow Factory Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17, disebutkan bahwa “Reparation should be made through restitution in kind”
Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297 disebutkan bahwa “...his sole remedy is an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307 disebutkan “Just Compensation implies a complete restitution of the status quo ante, based not upon future gains but upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of similar property”
f. Nationality of Claims (kewarganegaraan penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap pelanggaran ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa dibuktikan bahwa pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi negara tersebut. Lihat Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports, Series A/B, No 76.
g. Menentukan kewarganegaraan
Individu
Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan siapa sajakah yang bisa mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip utama dalam hal ini adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui
Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut
Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.

Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”

Kapal Laut
Sesuai dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas dalam Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini perlu ditambahkan pula perlunya genuine link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal jika terjadi keragu-raguan akan status kapal tersebut.

Kapal Udara
Pasal 17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.
h. Exhaustion of Local remedies
Dalam upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba melakukan semua cara dalam level nasional masing-masing.

Kasus-kasus yang relevan

• Chorzow Factory Case (Indemnity) (merits) (1928) PCIJ Reports, Series A no 17: Sah dan Tidaknya suatu expropriation
• Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3: Nasionalitas perusahaan
• Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4: Kewarganegaraan dan Genuine link individual
• Texaco v Libya (1977) 53 ILR 389: Ketentuan tentang reparations
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Monday, April 03, 2006

Kekebalan terhadap Yurisdiksi

Pendahuluan

Konsep kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara mau tidak mau menjadi kebutuhan tersendiri dalam hukum internasional. Pengecualian terhadap hukum negara setempat terhadap diplomat asing yang bertugas di negara tersebut merupakan suatu kebutuhan yang seringkali susah untuk dikompromikan atau dimengerti oleh mahasiswa hukum mengingat prinsip fiksi hukum yang menghendaki semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Di sisi lain, tanpa adanya kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara, maka tugas seorang diplomat tidak akan bisa dilaksanakan secara sempurna.

Kata-Kata Kunci:

a. Sovereign Immunity (Kekebalan [karena] Kedaulatan)
Suatu negara tak dapat memaksakan kedaulatannya terhadap negara berdaulat lainnya. Prinsip ini dikenal dengan istilah par in parem non habet imperium-jika kedudukannya sama maka tidak dapat saling memaksakan yurisdiksinya. Berdasar prinsip inilah maka prinsip kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara dimunculkan.
b. Kekebalan terhadap Diplomat
Dalam US Diplomatic and Consular Staff in Tehran Case (1980) ICJ Reports, hal 3 dan hal 40 menyatakan bahwa kekebalah terhadap diplomat adalah “...constitute a slef-contained regime, which on the one hand, lays down the receivingstate’s obligation regarding the facilities, privileges, and immunities to be acorded to diplomatic missions and, on the onthe, foresees their possible abuse by members of the mission and specifies the means at the disposal of the receiving state to counter any such abuses”
Sejak tahun 1961, masyarakat internasional telah menyepakati beberapa kekebalan untuk anggota misi diplomatik dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961, antara lain yaitu:
1) Kekebalan terhadap gedung diplomatik (Diplomatic premises, Pasal 22)
“The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving state may not enter them, except with the consent of the head of the mission”. Hal ini dilandasi oleh tiga teori yang berbeda:
a) The Extraterritorial Theory, yang menganggap bahwa gedung kantor diplomatik adalah perpanjangan wilayah negara pengirim
b) The Representative Character Theory yang menganggap bahwa perwakilan dalah merupakan cerminan dari kehadiran kekuasaan asing yang harus dihormati oleh negara lain sebagaimana negara itu menghormati negara aslinya.
c) The Functional Necessity Theory, yang menganggap bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi itu perlu dimiliki agar fungsi perwakilan diplomatik dapat dijalankan dengan baik.
2) Kekebalan terhadap surat-surat diplomatik (Diplomatic Correspondence, Pasal 27) termaktub dalam pasal ini adalah:
a) negera penerima harus mengijinkan dan melindungi kebebasan berkomunikasi antara kantor perwakilan dan negara pengirim
b) Korespondensi Resmi tidak boleh diganggu gugat
c) Kantong Diplomatik (Diplomatic bag) tidak boleh ditahan atau dibuka
3) Kekebalan terhadap anggota diplomatik dan kebebasan dari proses penangkapan dan penahanan (Pasal 29)
Setiap anggota misi diplomatik tidak dapat ditangkap atau ditahan oleh negara penerima. Termasuk dalam pengertian itu adalah kewajiban dari negara penerima untuk melindungi anggota misi diplomatik dari serangan terhadap diri pribadi, kebebasan maupun martabatnya. Hak kekebalan bagi anggota diplomatik ini semakin ditegaskan dalam The Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents 1973.
4) Kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal dan tuntutan perdata (Pasal 31) dituangkan sebagai berikut: “...A diplomatic agent shall enjoy imunity from the criminal jurisdiction of the receiving state. He shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction (subject to exeptions)” . Lebih lanjut disebutkan bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal adalah absolut sementara perkecualian terhadap tuntutan perdata terkait dengan kepemilikan pribadi (private real property), pengalihan dan aktivitas komersial (succesion and commercial activity) di luar kewenangan dan tugas diplomatiknya. Seorang diplomat juga tidak bisa dipaksa untuk bersaksi dalam persidangan (Pasal 31 ayat 2)
c. Batas dari Kekebalan Diplomat
Diplomat asing dan keluarganya akan kehilangan kekebalan terhadap yurisdiksi, atau keleluasaan untuk menetap di negara penerima ketika tugas mereka dinyatakan telah berakhir.
d. Kekebalan terhadap Konsulat
Konsul sebenarnya lebih berperan dalam hal-hal administratif daripada seorang perwakilan politik, oleh karena memiliki perlindungan kekebalan terhadap yurisdiksi negara setempat yang lebih rendah jika dibandingkan perwakilan diplomatik. Hak dan kewajiban konsul dalam masyarakat internasional telah diatur di dalam The Vienna Convention on Consular Relations 1963 yang meliputi:
1) Gedung Konsulat tak dapat dimasuki tanpa ijin dari kepala kantor konsulat (Pasal 31)
2) Gedung Konsulat harus dilindungi dari kerusakan dan intrusi (Pasal 33)
3) Anggota Konsular tak dapat ditangkap atau ditahan kecuali terkait dengan kejahatan massal dan diikuti dengan keputusan peradilan yang berwenang atasnya (Pasal 41)
4) Kekebalan terhadap anggota konsulat terhadap yurisdiksi pidana maupun perdata terbatas kepada tindakan-tindakan mereka yang dilakukan sesuai dengan kewenangan dan fungsi-fungsi konsular
e. Kekebalan terhadap Organisasi Internasional
Tidak ada hukum kebiasaan internasional yang mengakui perlunya atau adanya perlindungan terhadap yurisdiksi suatu negara terhadap misi perwakilan organisasi internasional. Namun demikian, ada the Vienna Convention on the Representation of States in Their Relations with International Organizations of a Universal Character 1975 yang mencoba untuk membuat prinsip-prinsip umum bagaimana sebuah organisasi internasional dapat juga memiliki keistimewaan, sekalipun terbatas, ketika melakukan tugasnya di negara lain.. Sayangnya sampai saat ini konvensi tersebut belum berlaku. Oleh karena itu, derajat kekebalan dari para anggota yang bertugas dalam organisasi internasional sangat tergantung kepada negosiasi dan perjanjian antara organisasi tersebut dengan negara penerimanya.


Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Saturday, April 01, 2006

Yurisdiksi Negara

Pendahuluan

Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang-undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.

Kata-Kata Kunci:

a. Dasar-dasar yurisdiksi negara menurut hukum internasional

Territorial Jurisdiction/Yursidiksi Wilayah
Yurisdiksi wilayah adalah dasar yang dipakai untuk menuntut penegakan suatu peristiwa terhadap hukum negara setempat. Semua peristiwa kriminal yang terjadi dalam wilayah suatu negara telah membuat negara tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum yang telah dibuatnya. Dalam Compania Naviera Vascongado v Chrisina SS (1938) AC 485, disebutkan bahwa prinsip yurisdiksi wilayah ini telah membuat semua orang, tanpa melihat kewarganegaraannya dapat diperiksa, dituntut dan dihukum menurut hukum dimana peristiwa pidana dilakukan.
Dalam hal ini bisa terjadi setidak-tidaknya dua kemungkinan:
1) Subjective Territorial Principles, terkait dengan tindakan awal suatu kejahatan dilakukan. Seseorang yang mengirimkan roti beracun ke negara lain, bisa dianggap telah melakukan tindak pidana di wilayah dimana roti tersebut dikirimkan. Lihat Treacy v DPP (1971) AC 537
2) Objective Territorial Principles; terkait dengan dimana akibat dari kejahatan tersebut terjadi. Ketika orang yang memakan roti beracun itu meinggal dunia, maka disitulah menurut prinsip dianggap telah terjadi tindak pidana. Lihat Lotus Case (1923) PCIJ Reports, Series A, no 10

Active Nationality Principle/Nationalitas Aktif
Hubungan antara negara dan warganegaranya menjadi dasar bagi pengenaan prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif. Setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhi hukum negaranya, sekalipun saat melakukan kejahatan itu tidak berada di wilayah negara tersebut. Misalnya, Negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi atas warga negara Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat. Meski demikian, tindakan untuk membawa warganegaranya ke depan meja hukum tidak boleh dilakukan bila hal tersebut membuat kewajiban suatu negara terhadap negara lainnya jadi terabaikan. Lihat Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4



Passive Personality Principle/ Personalitas Pasif
Prinsip ini memungkinkan suatu negara untuk memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah warga negara mereka. Misalnya, jika terjadi pembunuhan warga negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Australia di wilayah Australia, maka Indonesia masih bisa diberi hak untuk melakukan penuntutan dan pemeriksaaan serta menghukum pelaku atas dasar prinsip ini. Lihat United States v Yunis (1989) 83 AJIL 94.
Namun, suatu negara yang secara konsisten menolak penerapan prinsip dalam sistem hukumnya (perssistent objector) dapat tidak mengakui yurisdiksi negara lain yang mengakui prinsip ini. Lihat kasus Cutting Case (1887) 2 Moore’s Digest 228

Protective (Security) Jurisdiction
Perluasan dari yurisdiksi negara dapat diberikan kepada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan suatu negara. Tindakan yang dimaksud antara lain: Rencana untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang dilakukan negara lain di negaar lain, tindakan spionase, memalsukan maat uang atau sebuah konspirasi untuk melanggar peraturan keiimigrasian. Dua alasan mengapa hal ini perlu diadakan:
1) jika dibiarkan maka tindakan itu akan merugikan dan bahkan mengancam keberlangsungan suatu negara
2) jika tidak ada perluasan yurisdiksi maka negara dimana tindakan itu dilakukan mungkin tidak akan menganggap bahwa tindakan itu adalah tindak pidana terhadapnya dan proses extradisi yang dimaksud susah dilakukan karena nuansa politik yang ada dalam tindakan kriminal tersebut.
Lihat kasus Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5

Universality Principle/Kejahatan universal
Dasar pengenaan yurisdiksi ini adalah ketika suatu negara menahan seseorang yang diduga menurut hukum internasional telah melakukan kejahatan internasional. Beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan internasional antara lain adalah:
1) Piracy Jure Gentium pembajakan di laut telah diakui sebagai kejahatan internasional baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam Pasal 14 dan 17 dari The Geneva Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101-107 dari The UN Conventions on the Law of the Seas 1982. Negara yang menahan pembajak boleh mengajukannya ke pengadilan tanpa melihat kewarganegaraan pelaku ataupun korban maupun kapal yang dibajaknya
2) War Crimes kejahatan perang sebagaimana diakui dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai konvensi Jenewa dan Den Haag telah dianggap sebagai kejahatan yang bersifat universal. Prinsip-prinsip dalam Nuremberg trial atau Tokyo trial menajdi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk memberikan yurisdiksi kepada negara yang menangkap pelaku kejahatan perang.
3) War-related Crimes ada dua hal yaitu Crimes against Humanity dan Crimes against Peace

b. Yurisdiksi Khusus yang diakui dalam perjanjian internasional
Kejahatan terhadap Penerbangan
• Tokyo Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft 1963
• Hague Conventions for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970
• Montreal Convention for teh Suppression of Unlawful Act againts the Safety of Civil Aviation 1971
Perbudakan
Tindakan perbudakan telah dilarang melalui Pasal 4 Deklarasi universal Hak Asasi Manusia 1948

c. Ekstradisi
Konsep ekstradisi selalu dilandaskan pada adanya suatu perjanjian internasional antara negara yang ingin melakukan ekstradisi dan tidak ada hukum kebiasaan interansional yang mengatur tentang itu. Dalam perjanjian itu biasanya disebut, antara lain:
1) Jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
2) Kriteria orang yang bisa diekstradisikan
3) Perkecualian terhadap kejahatan politik dari jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
4) Pernyataan bahwa orang yang diekstradisi tak bisa diadili karena perkara yang tidak disebutkan dalam perjanjian ekstradisi
5) Adanya Prima facie, bukti-bukti atas kesalahan yang dilakukan (dikenal dalam common law dan tidak pada civil law sistem)


Kasus-kasus yang relevan

• The Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A no 10: penerapan prinsip subjective dan objective territorial
• Joyce v Director of Public Prosecutions (1946) AC 347: prinsip nasionalitas aktif
• Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5: prinsip protektif
• Lockerbie Case (Libya v United Kingdom/United States) (1992) ICJ Reports, hal 3: terkait dengan konsep jurisdiksi dengan berbagai macam prinsip dasar

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Kedaulatan Wilayah

Pendahuluan

Salah satu kriteria utama dari kedaulatan adalah dimilikinya suatu wilayah yang dapat diidentifikasikan dengan jelas. Wilayah yang dimiliki oleh negara sehingga secara ekslusif tata aturan dan tindakan kepemerintahan lainnya dapat dijalankan.

Kata-Kata Kunci:

a. Cara-cara tradisional mendapat wilayah:

Occupation/Pendudukan
Occupation adalah cara memperoleh suatu wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh negara lain atau ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
1) Wilayah tersebut harus terra nullius, yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Pada masa kolonialisme, penguasa asli seringkali diabaikan sehingga penguasa di sini lebih diartikan sebagai bangsa Eropa saja. Lihat kasus Cooper v Stuart (1889) 14 AC 286
2) Proses kepemilikan harus dilakukan oleh negara dan bukan sektor swasta atau bahkan individual
3) Kekuasaan terhadap wilayah tersebut harus berada dalam posisi “terbuka, terus menerus, efektif dan damai”. Lihat kasus Island Palmas Case (1928) 2 RIAA 829. Disebutkan pula bahwa kekuasaan terhadap wilayah tersebut haruslah aktual/nyata dan bukan hanya nominal/klaim saja. Lihat juga Clipperton Islands Case (1931) 2 RIAA 1105 dan Minquiers and Ecrehos Islands Case (1953) ICJ Reports, hal 47
4) Negara yang menduduki wilayah tersebut harus menunjukkan adanya niatan untuk melakukan penguasaan atau animus occupandi. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan melakukan tindakan-tindakan administratif terhadap wilayah tersebut. Lihat the Legal Status of Eastern Greenland Case (1933) PCIJ Reports, Series A/B, No. 53 disebutkan bahwa: “A claim to sovereignty based ...upon a continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist; the intention and will to act as a sovereign; and some actual exercise or display of such authority”. Dari sisi lain, bagi negara yang merelakan wilayahnya diambil oleh negara lain harus menunjukkan animus relinquendi.

Prescription/Preskripsi
Metode ini adalah proses perolehan wilayah yang tadinya dikuasai oleh negara lain namun karena satu dan lain hal maka penguasaan tersebut menjadi tidak efektif atau daluwarsa. Ada dua cara untuk memperoleh wilayah melalui metode ini:
1) Immemorial Possession: dimana negara mendapatkan kedaulatannya atas suatu wilayah setelah menguasainya sampai sangat lama sehingga penguasa sebelumnya tidak bisa diketahui lagi.
2) Adverse Possession: kondisi dimana penguasa sebelumnya diketahui namun, karena penguasa baru telah secara efektif melakukan pemerintahannya sehingga penguasa lama seperti telah kehilangan kekuasaan untuk menjalankan fungsinya di wilayah tersebut. Penguasa baru dalam hal ini harus mendapatkan semacam “pembiaran” atas tindakan dan kebijakan yang dilakukan dari penguasa sebelumnya. (acquiescence principle). Lihat di Chamizal Arbitration (1911) 9 RIAA 316
Dalam praktek sangat susah membedakan antara occupation dan prescription sehingga biasanya hanya mengandalkan putusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrasi atau badan pengadilan internasional lainnya.

Accretion dan Avulsion
Accretion disebabkan oleh gerakan alam yang terjadi secara bertahap sehingga memunculkan/mengurangi wilayah bagi suatu negara, misalnya proses pengendapan atau erosi akibat gerakan sungai. Sementara itu Avulsion adalah gerakan alam secara mendadak yang merubah landscape suatu negara sehingga sebagain wilayah menjadi hilang/bertambah. Dalam proses accretion maka garis perbatasan bisa berubah sesuai dengan gerakan alam yang perlahan dan bertahap tadi namun dalam situasi avulsion, maka garis perbatasan suatu negara tidak berubah. Lihat Lousiana v Mississippi (1940) 282 US 458

Cession
Metode ini adalah pengalihan kedaulatan suatu wilayah dari satu negara ke negara lainnya dengan melalui suatu perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan secara tegas, adanya satu negara sebagai pihak yang melepaskan kedaulatan dan pihak negara lainnya menerima kedaulatan atas suatu wilayah tertentu. Jika akibat dari penyerahan kedaulatan tersebut berimbas kepada pihak ketiga, maka hak yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga harus dipertahankan sampai kemudian terjadi perjanjian baru antara pihak ketiga dan pihak penguasa baru tersebut. Contoh Cession yang diikuti dengan pembayaran adalah Lousiana dari Perancis dan Alaska dari Rusia ke Amerika Serikat.

Conquest/Penaklukan
Sebelum negara-negara sepakat untuk mencegah penggunaan kekerasan sebagai kebijakan nasional, perolehan suatu wilayah baru dapat dilakukan dengan jalan melakukan penaklukan terhadap kekuasaan negara lain.
1) Subjugation atau Debellation adalah kondisi dimana angakatan bersenjata suatu negara telah dihancurlebrukan oleh kekuatan pendatang yang kemudian menguasai dan menaklukkan wilayah tersebut
2) Implied Abandonment adalah kondisi dimana angkatan bersenjata yang kalah dalam peperangan pergi meninggalkan suatu wilayah sehingga memungkin angkatan bersenjata negara lain untuk masuk dan menaklukan wilayah tersebut.

b. Doktrin “Intertemporal Law”
Dalam Island of Palmas Arbitration (1928) menyatakan bahwa klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan.

c. Prinsip-prinsip modern tentang kedaulatan wilayah
1. Self-Determination
Dalam Status of South-West Africa Case (1950) ICJ Reports, hal 6, Mahkamah Internasional mengakui bahwa prinsip self determination (menentukan nasib sendiri) sebagai faktor yang penting bagi kemerdekaan Namibia dari Afrika Barat Daya. Hal ini sesuai pula dengan prinsip yang ditetapkan dalam Resolusi Sidang Umum PBB no 2625.
Serupa dengan itu dalam Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hal 12 menerapkan lagi prinsip self determination dengan menyatakan bahwa klaim penduduk asli tentang kedaulatan wilayah tidak mengalahkan kedaulatan wilayah yang diklaim oleh negara yang ada di sana.

2. Uti Possidetis
Prinsip ini pertama kali digunakan di negara bekas jajahan Spanyol di wilayah Amerika Latin untuk menyelesaikan kasus perbatasan. Menurut prinsip ini, Btas Administrasi yang dibuat oleh negara penjajah digunakan sebagai batas baru antara negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan. Prinsip ini digunakan dalam kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali) (1986) ICJ Reports, hal 554. hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan garis batas yang telah berlaku efektif sejak masa penjajahan.
Prinsip ini digunakan lagi dalam Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351. Dalam kasus ini, perbatasan yang dibuat oleh penjajah ditransformasikan menjadi garis batas internasional

3. Perjanjian Perbatasan
Perbatasan yang dihasilkan dari sebuah perjanjian internasional dianggap sebagai batas utama dan terpisah dari perjanjian yang menyebutkan hal itu. Prinsip ini diakui oleh Mahkamah Internasional dalam Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hal 6. Meski perjanjiannya sendiri memiliki batas waktu. Namun, persoalan perbatasan yang ada di dalam perjanjian tersebut dianggap masih terus berlangsung.

Kasus-kasus yang relevan

• Island of Palmas Arbitration (1928) 2 RIAA 829: kasus utama dalam occupation dan prescription
• Clipperton Island Arbitration (1931) 2 RIAA 1105: terkait dengan status res nullius dalam occupation
• Minquiers and Ecrehos Case (1953) ICJ Reports, hal 47: tingkat kewenangan pemerintah yang diperlukan dalam penguasaan yang layak (proper occupation)
• Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hal 12: terkait dengan konsep self determination
• Colombia-Venezuela Boundary Arbitration (1922) 1 RIAA 223: terkait dengan konsep accretion
• Burkina Faso v Mali (1986) ICJ Reports, hal 554: terkait dengan penerapan prinsip uti possidetis
• Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351: penerapan prinsip uti possidetis di negara Amerika Selatan
• Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hal 6 terkait dengan status garis batas dalam perjanjian internasional sekalipun perjanjian tersebut sudah lewat waktu

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press