Saturday, April 01, 2006

Kedaulatan Wilayah

Pendahuluan

Salah satu kriteria utama dari kedaulatan adalah dimilikinya suatu wilayah yang dapat diidentifikasikan dengan jelas. Wilayah yang dimiliki oleh negara sehingga secara ekslusif tata aturan dan tindakan kepemerintahan lainnya dapat dijalankan.

Kata-Kata Kunci:

a. Cara-cara tradisional mendapat wilayah:

Occupation/Pendudukan
Occupation adalah cara memperoleh suatu wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh negara lain atau ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
1) Wilayah tersebut harus terra nullius, yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Pada masa kolonialisme, penguasa asli seringkali diabaikan sehingga penguasa di sini lebih diartikan sebagai bangsa Eropa saja. Lihat kasus Cooper v Stuart (1889) 14 AC 286
2) Proses kepemilikan harus dilakukan oleh negara dan bukan sektor swasta atau bahkan individual
3) Kekuasaan terhadap wilayah tersebut harus berada dalam posisi “terbuka, terus menerus, efektif dan damai”. Lihat kasus Island Palmas Case (1928) 2 RIAA 829. Disebutkan pula bahwa kekuasaan terhadap wilayah tersebut haruslah aktual/nyata dan bukan hanya nominal/klaim saja. Lihat juga Clipperton Islands Case (1931) 2 RIAA 1105 dan Minquiers and Ecrehos Islands Case (1953) ICJ Reports, hal 47
4) Negara yang menduduki wilayah tersebut harus menunjukkan adanya niatan untuk melakukan penguasaan atau animus occupandi. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan melakukan tindakan-tindakan administratif terhadap wilayah tersebut. Lihat the Legal Status of Eastern Greenland Case (1933) PCIJ Reports, Series A/B, No. 53 disebutkan bahwa: “A claim to sovereignty based ...upon a continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist; the intention and will to act as a sovereign; and some actual exercise or display of such authority”. Dari sisi lain, bagi negara yang merelakan wilayahnya diambil oleh negara lain harus menunjukkan animus relinquendi.

Prescription/Preskripsi
Metode ini adalah proses perolehan wilayah yang tadinya dikuasai oleh negara lain namun karena satu dan lain hal maka penguasaan tersebut menjadi tidak efektif atau daluwarsa. Ada dua cara untuk memperoleh wilayah melalui metode ini:
1) Immemorial Possession: dimana negara mendapatkan kedaulatannya atas suatu wilayah setelah menguasainya sampai sangat lama sehingga penguasa sebelumnya tidak bisa diketahui lagi.
2) Adverse Possession: kondisi dimana penguasa sebelumnya diketahui namun, karena penguasa baru telah secara efektif melakukan pemerintahannya sehingga penguasa lama seperti telah kehilangan kekuasaan untuk menjalankan fungsinya di wilayah tersebut. Penguasa baru dalam hal ini harus mendapatkan semacam “pembiaran” atas tindakan dan kebijakan yang dilakukan dari penguasa sebelumnya. (acquiescence principle). Lihat di Chamizal Arbitration (1911) 9 RIAA 316
Dalam praktek sangat susah membedakan antara occupation dan prescription sehingga biasanya hanya mengandalkan putusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrasi atau badan pengadilan internasional lainnya.

Accretion dan Avulsion
Accretion disebabkan oleh gerakan alam yang terjadi secara bertahap sehingga memunculkan/mengurangi wilayah bagi suatu negara, misalnya proses pengendapan atau erosi akibat gerakan sungai. Sementara itu Avulsion adalah gerakan alam secara mendadak yang merubah landscape suatu negara sehingga sebagain wilayah menjadi hilang/bertambah. Dalam proses accretion maka garis perbatasan bisa berubah sesuai dengan gerakan alam yang perlahan dan bertahap tadi namun dalam situasi avulsion, maka garis perbatasan suatu negara tidak berubah. Lihat Lousiana v Mississippi (1940) 282 US 458

Cession
Metode ini adalah pengalihan kedaulatan suatu wilayah dari satu negara ke negara lainnya dengan melalui suatu perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan secara tegas, adanya satu negara sebagai pihak yang melepaskan kedaulatan dan pihak negara lainnya menerima kedaulatan atas suatu wilayah tertentu. Jika akibat dari penyerahan kedaulatan tersebut berimbas kepada pihak ketiga, maka hak yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga harus dipertahankan sampai kemudian terjadi perjanjian baru antara pihak ketiga dan pihak penguasa baru tersebut. Contoh Cession yang diikuti dengan pembayaran adalah Lousiana dari Perancis dan Alaska dari Rusia ke Amerika Serikat.

Conquest/Penaklukan
Sebelum negara-negara sepakat untuk mencegah penggunaan kekerasan sebagai kebijakan nasional, perolehan suatu wilayah baru dapat dilakukan dengan jalan melakukan penaklukan terhadap kekuasaan negara lain.
1) Subjugation atau Debellation adalah kondisi dimana angakatan bersenjata suatu negara telah dihancurlebrukan oleh kekuatan pendatang yang kemudian menguasai dan menaklukkan wilayah tersebut
2) Implied Abandonment adalah kondisi dimana angkatan bersenjata yang kalah dalam peperangan pergi meninggalkan suatu wilayah sehingga memungkin angkatan bersenjata negara lain untuk masuk dan menaklukan wilayah tersebut.

b. Doktrin “Intertemporal Law”
Dalam Island of Palmas Arbitration (1928) menyatakan bahwa klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan.

c. Prinsip-prinsip modern tentang kedaulatan wilayah
1. Self-Determination
Dalam Status of South-West Africa Case (1950) ICJ Reports, hal 6, Mahkamah Internasional mengakui bahwa prinsip self determination (menentukan nasib sendiri) sebagai faktor yang penting bagi kemerdekaan Namibia dari Afrika Barat Daya. Hal ini sesuai pula dengan prinsip yang ditetapkan dalam Resolusi Sidang Umum PBB no 2625.
Serupa dengan itu dalam Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hal 12 menerapkan lagi prinsip self determination dengan menyatakan bahwa klaim penduduk asli tentang kedaulatan wilayah tidak mengalahkan kedaulatan wilayah yang diklaim oleh negara yang ada di sana.

2. Uti Possidetis
Prinsip ini pertama kali digunakan di negara bekas jajahan Spanyol di wilayah Amerika Latin untuk menyelesaikan kasus perbatasan. Menurut prinsip ini, Btas Administrasi yang dibuat oleh negara penjajah digunakan sebagai batas baru antara negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan. Prinsip ini digunakan dalam kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali) (1986) ICJ Reports, hal 554. hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan garis batas yang telah berlaku efektif sejak masa penjajahan.
Prinsip ini digunakan lagi dalam Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351. Dalam kasus ini, perbatasan yang dibuat oleh penjajah ditransformasikan menjadi garis batas internasional

3. Perjanjian Perbatasan
Perbatasan yang dihasilkan dari sebuah perjanjian internasional dianggap sebagai batas utama dan terpisah dari perjanjian yang menyebutkan hal itu. Prinsip ini diakui oleh Mahkamah Internasional dalam Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hal 6. Meski perjanjiannya sendiri memiliki batas waktu. Namun, persoalan perbatasan yang ada di dalam perjanjian tersebut dianggap masih terus berlangsung.

Kasus-kasus yang relevan

• Island of Palmas Arbitration (1928) 2 RIAA 829: kasus utama dalam occupation dan prescription
• Clipperton Island Arbitration (1931) 2 RIAA 1105: terkait dengan status res nullius dalam occupation
• Minquiers and Ecrehos Case (1953) ICJ Reports, hal 47: tingkat kewenangan pemerintah yang diperlukan dalam penguasaan yang layak (proper occupation)
• Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hal 12: terkait dengan konsep self determination
• Colombia-Venezuela Boundary Arbitration (1922) 1 RIAA 223: terkait dengan konsep accretion
• Burkina Faso v Mali (1986) ICJ Reports, hal 554: terkait dengan penerapan prinsip uti possidetis
• Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351: penerapan prinsip uti possidetis di negara Amerika Selatan
• Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hal 6 terkait dengan status garis batas dalam perjanjian internasional sekalipun perjanjian tersebut sudah lewat waktu

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

0 Comments:

Post a Comment

<< Home