Monday, May 01, 2006

Mahkamah Internasional

Pendahuluan

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Piagam PBB.

Kata-Kata Kunci:

a. Fungsi
Mahkamah memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.

b. Komposisi
Mahkamah terdiri dari 15 orang hakim yang dipilih untuk masa tugas 9 tahun oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan. Pemilihan dilakukan setiap tiga tahun sekali untuk menggantikan sepertiga kursi yang ada. Hakim yang ada dapat dipilih kembali. Keanggotaan hakim tidak merupakan perwakilan dari negara-negaranya melainkan sesuai dengan kapasitas pribadi mereka. Sekalipun demikian, peta geopolitik yang ada pada saat pemilihan sangat mempengaruhi variasi kewarganegaraan sang hakim. Tidak mungkin ada dua hakim yang berasal dari satu negara yang sama.
Jika dalam suatu perkara antar dua negara atau lebih, ada salah satu negara yang tidak memiliki warga negaranya sebagai hakim sementara “lawan”nya memiliki warga negaranya menjadi hakim dalam Mahkamah, maka negara tersebut berhak mengajukan warga negaranya sebagai hakim ad hoc untuk mengadili perkara tersebut.

c. Penanganan Perkara
Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka.
Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1. perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah
2. pernyataan yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3. adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.
Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.

d. Tata Cara penyelesaian sengketa
Ada dua tahap dalam menangani perkara yang diajukan ke Mahkamah. Pertama adalah pengajuan secara tertulis segala argumentasi dari masing-masing pihak disertai dengan bukti-bukti tertulis lainnya. Kemudian para pihak akan saling menyampaikan gagasannya secara lisan melalui rangkaian persidangan melalui agen dan penasehat hukum mereka masing-masing.
Mahkamah menggunakan dua bahasa resmi yaitu Inggris dan Perancis sehingga setiap keterangan baik lisan maupun tulisan selalu akan diterjemahkan ke dalam dua bahasa tersebut.
Sesudah keterangannya dibaca dan didengar hakim akan bersidang secara tertutup dan setelah sampai kepada keputusan baru diumumkan secara terbuka. Keputusan yang diambil adalah final dan tidak ada peradilan banding atasnya.
Jika ada pihak yang “kalah” dalam peradilan tidak mau melakukan kewajibannya sesuai dengan keputusan Mahkamah, maka pihak yang lain bisa mnegajukan perkara tersebut ke Dewan Keamanan.
Mahkamah secara umum akan bersidang dengan jumlah hakim yang lengkap (full court), minimal 9 orang hakim hadir dari 15 hakim yang ada. Namun jika dikehendaki oleh para pihak dapat dilakukan pemeriksaan dengan jumlah hakim yang terbatas (Chamber)

e. Sumber Hukum
Sumber hukum yang dipakai oleh Mahkamah tanpa melihat hirarkinya adalah perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan sumber tambahan adalah keterangan para ahli, ajaran dan doktrin serta keputusan pengadilan

f. Nasehat dan Pendapat Hukum
Hanya organisasi internasional yang bisa mengajukan permintaan kepada Mahkamah untuk memberikan pendapat yang akan berfungsi sebagai nasehat bagi organisasi internasional tersebut dalam memahami atau menjelaskan sebuah perkara hukum.
Dalam upaya memberikan nasehat tersebut, Mahkamah bisa mencari penjelasan dari negara atau organisasi internasional manapun dengan memberikan kebebasan bagi negara-negara ataupun organisasi-organisasi internasional untuk memebrikan informasi atau keterangan baik tertulis ataupun lisan kepada Mahkamah.
Setelah mendengar keterangan dan informasi dari berbagai pihak barulah Mahkamah menuliskan nasehat dan pendapat hukumnya atas pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Mengingat pendapat mereka dalam kasus ini adalah berupa nasehat maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang meminta untuk tunduk dan terikat pada nasehat tersebut.
Namun, dengan tambahan tata cara lain seperti dijanjikan terlebih dahulu oleh para pihak yang meminta, nasehat dari Mahkamah bisa saja ditetapkan untuk mengikat.

Kasus-kasus yang sedang disidangkan

• Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro)
• Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia)
• Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea v. Democratic Republic of Congo)
• Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro)
• Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras)
• Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia)
• Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France)
• Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge(Malaysia/Singapore)
• Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine)
• Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua)

Hukum Laut Internasional

Pendahuluan

Hampir semua wilayah lautan telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional. Oleh karena itu, hukum kebiasaan internasional dalam wilayah laut saat ini menjadi tidak terlalu penting lagi. Namun demikian, upaya-upaya kodifikasi yang dilakukan masih juga membutuhkan kejelasan-kejelasan yang mendorong digunakannya hukum kebiasaan internasional daripada hanya sekedar bersandarkan kepada konvensi-konvensi internasional.

Kata-Kata Kunci:

a. Upaya melakukan kodifikasi:

Upaya untuk melakukan kodifikasi telah dilakukan sejak masa Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations) pada tahun 1930-an dengan menyelenggarakan konferensi kodifikasi hukum laut internasional di Den Haag. Sayangnya konferensi itu tidak berhasil merumuskan ketentuan-ketentuan yang bisa disepakati sebagai hukum laut internasional. Meski demikian, beberapa butir penting dari konferensi itu tetap menjadi bahan utama bagi Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) untuk tetap merumuskannya dalam konferensi-konferensi yang berlangsung dari tahun 1950-1956 dan kemudian mewujud dalam konvensi Jenewa 1958. Empat buah konvensi telah dihasilkan dari serangkaian pertemuan di Jenewa yaitu:

a. The Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone
b. The Geneva Convention on the High Seas
c. The Geneva Convention on the Continental Shelf
d. The Geneva Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
Sebagai sebuah sumber hukum, maka konvensi ini adalah bagian dari perjanjian internasional yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk terhadapnya. Namun demikian, konvensi ini juga mengikat para pihak yang tidak turut serta dalam perjanjian tersebut dengan catatan sebagai berikut:
a. Jika hal-hal yang diatur dalam konvensi tersebut menunjukkan bahwa itu merupakan ketentuan tertulis dari sebuah hukum kebiasaan internasional yang dipraktekkan oleh banyak negara
b. Jika konvensi itu merupakan dampak lanjutan yang terjadi akibat diakuinya suatu perkembangan dalam hukum kebiasaan internasional. Lihat North Sea Continental Shelf Case (1969) ICJ Reports, hal 3
Meski boleh dikatakan sukses namun konvensi ini masih mengandung persoalan terutama terhadap lebar laut teritorial yang diperbolehkan. Masih ada perdebatan yang belum selesai ketika konvensi ini disepakati pada tahun 1960.

Upaya ketiga dari kodifikasi hukum laut internasional diprakarsai oleh PBB dengan menyelenggarakan the United Nations Conference on the Law of the Sea pada tahun 1982 sebagai puncak dari sepuluh tahun negosiasi. Hasilnya dalah The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang disepakati di Montego Bay. Sesuai dengan apa yang diatur dalam konvensi tersebut bahwa konvensi baru berlaku efektif setahun setelah ada negara ke 60 yang meratifikasinya maka konvensi ini baru dinyatakan berlaku pada bulan November 1994. Sehingga sejak tahun itu, ketentuan yang mengatur hukum laut internasional disandarkan kepada aturan-aturan yang ada dalam konvensi tersebut.

b. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Perairan Pedalaman seperti danau, sungai, kanal dan wilayah-wilayah air yang terkepung daratan suatu negara termasuk dalam kedaulatan wilayah negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain, prinsip hukum mengatakan jika ada kapal yang berada pada perairan pedalaman tersebut tunduk kepada yurisdiksi negara tersebut. Dalam praktek, asas kepatutan menjadi dasar yurisdiksi terhadap kapal tersebut yang memenangkan kedaulatan negara atas bendera kapal. Namun demikian hal itu bisa diabaikan bila:
a. Ada permintaan dari negara bendera kapal agar bisa menerapkan territorial jurisdiction bagi negara setempat
b. Tindakan yang dilakukan negara pantai harus dilakukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara pantai tersebut.

c. Laut Wilayah (the Territorial Sea)

Pasal 1 dari Territorial Sea Convention 1958 dan Pasal 2 dari UNCLOS mendefinisikan laut wilayah sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan daratan suatu negara dimana negara memiliki kedaulatan atasnya. Dalam hukum kebiasaan internasional lebar laut wilayah hanyalah 3 mil laut namun sejak UNCLOS pengakuan negara-negara telah berubah menjadi 12 mil laut dari garis batas pantai sebagaimana diatur menurut UNCLOS.
Dalam mengukur garis batas pantai maka Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1958 menegaskan bahwa “ garis batas normal (normal base line) ditetapkan dari garis batas ketika pasang surut seseuai dengan bentuk pantai yang diakui oleh negara pantai tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang diatur oleh Pasal 5 UNCLOS.
Namun demikian ada beberapa tambahan yang diakui dalam UNCLOS yaitu:
1. Straight Baselines (Garis Batas Lurus)
Jika ada negara pantai yang memiliki garis batas pantai yang tidak beraturan sehingga memunculkan lekukan-lekukan dalam dari negara pantai tersebut, dimungkinkan bagi negara pantai untuk menarik garis batas sesuai dengan titik-titik terluar dari bentuk yang berlekuk-lekuk tersebut dengan cara menarik garis lurus diantaranya (lihat Pasal 4 Konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 7 dari UNCLOS). Lihat pula Anglo-Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ reports, hal 116
2. Bays/Teluk
Pasal 7 dan Pasal 10 UNCLOS menyatakan bahwa suatu bagian laut yang menjorok ke dalam yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil dalam suatu negara, dapat memungkinkan negara tersebut untuk menarik garis lurus sehingga semua perairan dalam teluk tersebut menjadi laut wilayah dari negara pantai tersebut.
Jika ternyata bagian dari teluk tersebut merupakan wilayah dari dua atau lebih negara yang berbeda maka harus ada pengaturan khusus dalam sebuah perjanjian diantara negara-negara yang memiliki perbatasan pantai dengannya. Dalam kasus Case Concerning Land, Island and Maritime Frontier Dispute (1992) Mahkamah Internasional memutuskan perlunya kewenangan bersama atas wilayah teluk tersebut kecuali wilayah 3 mil laut sesuai dengan garis pantai negara masing-masing.
3. Garis batas teluk tradisional (Historic Bays)
Suatu wilayah teluk yang telah diklaim menjadi milik suatu negara dan selama ini tidak pernah ada tuntutan balik dari negara-negara lainnya dapat dianggap sebagai perairan pedalaman dari negara yang melakukan klaim atas dasar garis batas teluk yang secara tradisional menjadi wilayah kedaulatan mereka.
Pada laut wilayah negara memiliki kewenangan untuk menegakkan yurisdiksinya. Dalam hal ini negara pantai berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut termasuk dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non hayati dalam air tersebut.
Meski demikian, Pasal 14 dari Konvensi Jenewa memberikan pembatasan terhadap hak negara pantai tersebut untuk tetap menyediakan jalur khusus bagi pelintasan kapal-kapal asing yang akan melewati laut wilayah tersebut. Jalus tersebut sering disebut sebagai Innocent Passage atau Jalur Lintas Damai.
Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-kapal dagang/pariwisata asing untuk secara bebas melintasi jalur tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan orang/lembaga dari negara pantai dengan syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan negara pantai.
Ketika suatu kapal sedang melintasi jalur lintas damai maka negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas baik secara perdata maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang melintas di jalur tersebut. Pasal 19 dan Pasal 20 memberikan pengaturan akan hal itu. Sehingga yurisdiksi yang berlaku di atas kapal adalah yurisdiksi dari negara bendera kapal dan bukan negara pantai kecuali:
1. Dampak atau akibat dari tindak pidana tersebut sampai pada negara pantai yang bersangkutan
2. Jika kejahatan tersebut dilakukan untuk mengacaukan perdamaian dan keamanan dari negara pantai
3. Jika ada permintaan dari kapten kapal atau konsul dan perwakilan diplomatik bendera kapal terhadap negara pantai
4. Jika ada dugaan kuat bahwa kapal tersebut dan awak kapalnya melakukan penyelundupan obat-obatan terlarang

d. Zona Tambahan (the Contiguous Zone)

Pasal 33 dari UNCLOS menyatakan bahwa daerah yang berbatasan langsung antara laut wilayah dan laut lepas dapat diklaim menjadi zona tambahan bagi negara pantai untuk kepentingan-kepentingan sebagai berikut:
1. Mencegah pelanggaran kepabeanan, bea cukai, fiskal, imigrasi atau ruang bagi karantina barang-barang tertentu yang akan masuk negara pantai dari laut.
2. Wilayah untuk menghukum para pelaku pelanggaran dalam butir pertama tersebut
Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil diukur dari garis batas pantai waktu air laut surut. (Lihat Pasal 33[2]) dari UNCLOS

e. Landas Kontinen (the Continental Shelf)

Konsep tentang landas kontinen ini dikemukakan pertama kali oleh Presiden truman yang mengatakan bahwa Landas Kontinen adalah wilayah daratan yang tidak bisa dipisahkan dari daratan negara pantai yang menjorok ke dalam lautan. Dalam hal ini jika daratan tersebut menjorok ke arah laut lepas dengan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan di negara pantai.

Pasal 1 dari konvensi Jenewa mengatakan bahwa landas kontinen adalah wilayah kelanjutan daratan dari negara pantai yang berada di luar laut teritorial dengan kedalaman maksimum 200 meter atau lebih sepanjang bisa dibuktikan masih benar-benar merupakan kesatuan utuh dari daratan negara pantai secara alamiah

Pasal 76 dari UNCLOS menegaskan bahwa landas kontinen adalah:
“the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to the distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance”

f. Dasar Laut (the Deep Seabed and Ocean Floor)

Semula status dari seabed dan dasar lautan diperdebatkan antara res nullius dan res communis namun dalam deklarasi yang mengatur hal itu akhirnya disepakati bahwa dasar lautan adalah “common heritage of mankind” sebuah konsep yang lebih dekat kepada res communis daripada res nullius.

Pasal 133-191 dari UNCLOS mengatur tentang hal ini yang pada prinsipnya menganggap bahwa:
1. Sumber daya dasar lautan adalah milik bersama umat manusia
2. Status dari dasar lautan tidak mempengaruhi status dari laut lepas
3. Eksploitasi Dasar Lautan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi 1982
4. Beberapa persyaratan ditetapkan bagi negara atau perusahaan multinasional yang akan melakukan eksploitasi wilayah dasar laut antara lain adalah kewajiban untuk mengumumkan rencana kerja, kontrak yang dilakukan, pengembangan yang diharapkan, transfer tehnologi ke semua negara dan masa kontrak yang pasti dan jelas.
Hal-hal tersebut telah membuat banyak negara maju yang enggan meratifikasi konvensi 1982 ini.

g. Laut Lepas (the High Seas)

Pasal 2 dari Konvensi Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh meng-klaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar, memancing, meletakkan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta kebebasan untuk terbang di atas udara laut lepas tersebut. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS

Pasal 6 dari Konvensi jenewa menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS.

Namun ada beberapa perkecualian untuk prinsip yang berasal dari hukum kebiasaan internasioal yaitu:
1. Jika ada tabrakan atau kecelakaan laut. Lihat Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A No 10
2. Hak untuk masuk ke kapal bagi negara pantai terdekat jika ada dugaan kuat telah terjadi pembajakan (bajak laut) atau adanya perdagangan budak. Lihat Molvan v Attorney-General for Palestine (1948) AC 351
3. Hot Pursuit sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Konvensi Jenewa. Lihat pula The I’m Alone (1935) 3 RIAA 1609

h. Zona Ekonomi Eksklusif (the Exclusive Economic Zone)

Pasal 55 dari UNCLOS menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah yang berada di luar laut teritorial namun masih merupakan kelanjutannya sejauh tidak melebihi 200 mil laut.
Pasal 56 (1) menyatakan bahwa hak negara pantai dalam ZEE adalah:
1. melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan menjaga kelestarian sumber daya alam baik hayati maupun on hayati termasuk juga wilayah dasar lautan dan eksplorasi di bawah tanah dari laut tersebut.
2. termasuk dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan untuk mendirikan pulau-pulau buatan, instalasi atau bangunan lainnya; penelitian ilmiah dan langkah-langkah perlindungan pelestarian lingkungan laut.
Kasus-kasus yang relevan

• The North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3
• Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116
• Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports, hal 4
• The I’m Alone (1935) 3 RIAA 1609
• Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351: penerapan status hukum dari perairan pedalaman
• Maritime Delimination in the Area between Greenland and Jan Mayen (1993) ICJ Reports, hal 38 terkait dengan dampak dari penerapan garis pantai yang relatif berebda terhadap garis batas landas kontinen di antara dua negara yang bertetangga.

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Monday, April 10, 2006

Pertanggungjawaban Negara

Pendahuluan

Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan menyebabkan kerugian negara lain. .

Kata-Kata Kunci:

Semua sistem hukum di negara-negara dunia mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi subyek hukum yang tidak mematuhi ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish Zones of Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban negara ialah:

“ Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international character involve international liability. If the obligation is not met, responsibility entails the duty to make raparations”.

Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam draft Pasal-Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal penting (sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90):

a. Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.

Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya adalah pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional ataupun perbuatan melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada perbedaan antara kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional dan tindakan pidana yang memiliki unsur internasional. Dalam draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik internasional sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.

Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which results from the breach by a state of an international obligation so essential for the protection of fundamental interests of the international community that its breach is recognized as a crime by that community as a whole...”

Empat kategori kejahatan internasional adalah:
1) Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
2) Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi kolonial
3) Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui secara mendunia sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat manusia seperti pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan apartheid.
4) Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan pelestarian lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara massal dan mencemari lautan
Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum ditetapkan sebagai kejahatan internasional membuat suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun, banyak hal yang masih kontroversial untuk kasus pidana.

b. Imputability
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara terhadap tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan yang dapat dikaitkan dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara lain:
1) Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai pilar utama pemerintahan (Draft Pasal 6).
2) Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas yang ada di wilayahnya masing-masing (Draft Pasal 5).
3) Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya (Draft Pasal 8)

Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan dengan hukum internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, No 7

1) Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan aparatnya, serendah apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat pula Masey Case (1927) 4 RIAA 15
2) Negara juga bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa membuktikan bahwa tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang melakukan kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3) Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan itu adalah tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926) 4 RIAA 110
4) Negara tidak harus bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing ataupun organisasi internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan 13)
5) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio Claim (1903) 10 RIAA 499
6) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bertindak tidak atas nama negara

c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang melakukan delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti dari kesalahan atau itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim (1929) 5 RIAA 516 “ the doctrine of objective responsibility of the state, that is to say, a responsibility for those acts committed by its officials or its organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society Claim (1920) 6 RIAA 42

d. Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar
Alasan Pemaaf:
1) tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2) tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam hukum internasional
3) ada force majeure

Alasan Pembenar:
1) Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan untuk melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada negara lain yang dirugikan atas tindakan tersebut
2) Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri

e. Reparations
Setiap pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan memunculkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam Chorzow Factory Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17, disebutkan bahwa “Reparation should be made through restitution in kind”
Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297 disebutkan bahwa “...his sole remedy is an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307 disebutkan “Just Compensation implies a complete restitution of the status quo ante, based not upon future gains but upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of similar property”
f. Nationality of Claims (kewarganegaraan penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap pelanggaran ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa dibuktikan bahwa pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi negara tersebut. Lihat Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports, Series A/B, No 76.
g. Menentukan kewarganegaraan
Individu
Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan siapa sajakah yang bisa mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip utama dalam hal ini adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui
Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut
Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.

Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”

Kapal Laut
Sesuai dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas dalam Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini perlu ditambahkan pula perlunya genuine link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal jika terjadi keragu-raguan akan status kapal tersebut.

Kapal Udara
Pasal 17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.
h. Exhaustion of Local remedies
Dalam upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba melakukan semua cara dalam level nasional masing-masing.

Kasus-kasus yang relevan

• Chorzow Factory Case (Indemnity) (merits) (1928) PCIJ Reports, Series A no 17: Sah dan Tidaknya suatu expropriation
• Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3: Nasionalitas perusahaan
• Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4: Kewarganegaraan dan Genuine link individual
• Texaco v Libya (1977) 53 ILR 389: Ketentuan tentang reparations
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Monday, April 03, 2006

Kekebalan terhadap Yurisdiksi

Pendahuluan

Konsep kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara mau tidak mau menjadi kebutuhan tersendiri dalam hukum internasional. Pengecualian terhadap hukum negara setempat terhadap diplomat asing yang bertugas di negara tersebut merupakan suatu kebutuhan yang seringkali susah untuk dikompromikan atau dimengerti oleh mahasiswa hukum mengingat prinsip fiksi hukum yang menghendaki semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Di sisi lain, tanpa adanya kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara, maka tugas seorang diplomat tidak akan bisa dilaksanakan secara sempurna.

Kata-Kata Kunci:

a. Sovereign Immunity (Kekebalan [karena] Kedaulatan)
Suatu negara tak dapat memaksakan kedaulatannya terhadap negara berdaulat lainnya. Prinsip ini dikenal dengan istilah par in parem non habet imperium-jika kedudukannya sama maka tidak dapat saling memaksakan yurisdiksinya. Berdasar prinsip inilah maka prinsip kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara dimunculkan.
b. Kekebalan terhadap Diplomat
Dalam US Diplomatic and Consular Staff in Tehran Case (1980) ICJ Reports, hal 3 dan hal 40 menyatakan bahwa kekebalah terhadap diplomat adalah “...constitute a slef-contained regime, which on the one hand, lays down the receivingstate’s obligation regarding the facilities, privileges, and immunities to be acorded to diplomatic missions and, on the onthe, foresees their possible abuse by members of the mission and specifies the means at the disposal of the receiving state to counter any such abuses”
Sejak tahun 1961, masyarakat internasional telah menyepakati beberapa kekebalan untuk anggota misi diplomatik dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961, antara lain yaitu:
1) Kekebalan terhadap gedung diplomatik (Diplomatic premises, Pasal 22)
“The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving state may not enter them, except with the consent of the head of the mission”. Hal ini dilandasi oleh tiga teori yang berbeda:
a) The Extraterritorial Theory, yang menganggap bahwa gedung kantor diplomatik adalah perpanjangan wilayah negara pengirim
b) The Representative Character Theory yang menganggap bahwa perwakilan dalah merupakan cerminan dari kehadiran kekuasaan asing yang harus dihormati oleh negara lain sebagaimana negara itu menghormati negara aslinya.
c) The Functional Necessity Theory, yang menganggap bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi itu perlu dimiliki agar fungsi perwakilan diplomatik dapat dijalankan dengan baik.
2) Kekebalan terhadap surat-surat diplomatik (Diplomatic Correspondence, Pasal 27) termaktub dalam pasal ini adalah:
a) negera penerima harus mengijinkan dan melindungi kebebasan berkomunikasi antara kantor perwakilan dan negara pengirim
b) Korespondensi Resmi tidak boleh diganggu gugat
c) Kantong Diplomatik (Diplomatic bag) tidak boleh ditahan atau dibuka
3) Kekebalan terhadap anggota diplomatik dan kebebasan dari proses penangkapan dan penahanan (Pasal 29)
Setiap anggota misi diplomatik tidak dapat ditangkap atau ditahan oleh negara penerima. Termasuk dalam pengertian itu adalah kewajiban dari negara penerima untuk melindungi anggota misi diplomatik dari serangan terhadap diri pribadi, kebebasan maupun martabatnya. Hak kekebalan bagi anggota diplomatik ini semakin ditegaskan dalam The Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents 1973.
4) Kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal dan tuntutan perdata (Pasal 31) dituangkan sebagai berikut: “...A diplomatic agent shall enjoy imunity from the criminal jurisdiction of the receiving state. He shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction (subject to exeptions)” . Lebih lanjut disebutkan bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal adalah absolut sementara perkecualian terhadap tuntutan perdata terkait dengan kepemilikan pribadi (private real property), pengalihan dan aktivitas komersial (succesion and commercial activity) di luar kewenangan dan tugas diplomatiknya. Seorang diplomat juga tidak bisa dipaksa untuk bersaksi dalam persidangan (Pasal 31 ayat 2)
c. Batas dari Kekebalan Diplomat
Diplomat asing dan keluarganya akan kehilangan kekebalan terhadap yurisdiksi, atau keleluasaan untuk menetap di negara penerima ketika tugas mereka dinyatakan telah berakhir.
d. Kekebalan terhadap Konsulat
Konsul sebenarnya lebih berperan dalam hal-hal administratif daripada seorang perwakilan politik, oleh karena memiliki perlindungan kekebalan terhadap yurisdiksi negara setempat yang lebih rendah jika dibandingkan perwakilan diplomatik. Hak dan kewajiban konsul dalam masyarakat internasional telah diatur di dalam The Vienna Convention on Consular Relations 1963 yang meliputi:
1) Gedung Konsulat tak dapat dimasuki tanpa ijin dari kepala kantor konsulat (Pasal 31)
2) Gedung Konsulat harus dilindungi dari kerusakan dan intrusi (Pasal 33)
3) Anggota Konsular tak dapat ditangkap atau ditahan kecuali terkait dengan kejahatan massal dan diikuti dengan keputusan peradilan yang berwenang atasnya (Pasal 41)
4) Kekebalan terhadap anggota konsulat terhadap yurisdiksi pidana maupun perdata terbatas kepada tindakan-tindakan mereka yang dilakukan sesuai dengan kewenangan dan fungsi-fungsi konsular
e. Kekebalan terhadap Organisasi Internasional
Tidak ada hukum kebiasaan internasional yang mengakui perlunya atau adanya perlindungan terhadap yurisdiksi suatu negara terhadap misi perwakilan organisasi internasional. Namun demikian, ada the Vienna Convention on the Representation of States in Their Relations with International Organizations of a Universal Character 1975 yang mencoba untuk membuat prinsip-prinsip umum bagaimana sebuah organisasi internasional dapat juga memiliki keistimewaan, sekalipun terbatas, ketika melakukan tugasnya di negara lain.. Sayangnya sampai saat ini konvensi tersebut belum berlaku. Oleh karena itu, derajat kekebalan dari para anggota yang bertugas dalam organisasi internasional sangat tergantung kepada negosiasi dan perjanjian antara organisasi tersebut dengan negara penerimanya.


Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Saturday, April 01, 2006

Yurisdiksi Negara

Pendahuluan

Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang-undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.

Kata-Kata Kunci:

a. Dasar-dasar yurisdiksi negara menurut hukum internasional

Territorial Jurisdiction/Yursidiksi Wilayah
Yurisdiksi wilayah adalah dasar yang dipakai untuk menuntut penegakan suatu peristiwa terhadap hukum negara setempat. Semua peristiwa kriminal yang terjadi dalam wilayah suatu negara telah membuat negara tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum yang telah dibuatnya. Dalam Compania Naviera Vascongado v Chrisina SS (1938) AC 485, disebutkan bahwa prinsip yurisdiksi wilayah ini telah membuat semua orang, tanpa melihat kewarganegaraannya dapat diperiksa, dituntut dan dihukum menurut hukum dimana peristiwa pidana dilakukan.
Dalam hal ini bisa terjadi setidak-tidaknya dua kemungkinan:
1) Subjective Territorial Principles, terkait dengan tindakan awal suatu kejahatan dilakukan. Seseorang yang mengirimkan roti beracun ke negara lain, bisa dianggap telah melakukan tindak pidana di wilayah dimana roti tersebut dikirimkan. Lihat Treacy v DPP (1971) AC 537
2) Objective Territorial Principles; terkait dengan dimana akibat dari kejahatan tersebut terjadi. Ketika orang yang memakan roti beracun itu meinggal dunia, maka disitulah menurut prinsip dianggap telah terjadi tindak pidana. Lihat Lotus Case (1923) PCIJ Reports, Series A, no 10

Active Nationality Principle/Nationalitas Aktif
Hubungan antara negara dan warganegaranya menjadi dasar bagi pengenaan prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif. Setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhi hukum negaranya, sekalipun saat melakukan kejahatan itu tidak berada di wilayah negara tersebut. Misalnya, Negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi atas warga negara Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat. Meski demikian, tindakan untuk membawa warganegaranya ke depan meja hukum tidak boleh dilakukan bila hal tersebut membuat kewajiban suatu negara terhadap negara lainnya jadi terabaikan. Lihat Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4



Passive Personality Principle/ Personalitas Pasif
Prinsip ini memungkinkan suatu negara untuk memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah warga negara mereka. Misalnya, jika terjadi pembunuhan warga negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Australia di wilayah Australia, maka Indonesia masih bisa diberi hak untuk melakukan penuntutan dan pemeriksaaan serta menghukum pelaku atas dasar prinsip ini. Lihat United States v Yunis (1989) 83 AJIL 94.
Namun, suatu negara yang secara konsisten menolak penerapan prinsip dalam sistem hukumnya (perssistent objector) dapat tidak mengakui yurisdiksi negara lain yang mengakui prinsip ini. Lihat kasus Cutting Case (1887) 2 Moore’s Digest 228

Protective (Security) Jurisdiction
Perluasan dari yurisdiksi negara dapat diberikan kepada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan suatu negara. Tindakan yang dimaksud antara lain: Rencana untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang dilakukan negara lain di negaar lain, tindakan spionase, memalsukan maat uang atau sebuah konspirasi untuk melanggar peraturan keiimigrasian. Dua alasan mengapa hal ini perlu diadakan:
1) jika dibiarkan maka tindakan itu akan merugikan dan bahkan mengancam keberlangsungan suatu negara
2) jika tidak ada perluasan yurisdiksi maka negara dimana tindakan itu dilakukan mungkin tidak akan menganggap bahwa tindakan itu adalah tindak pidana terhadapnya dan proses extradisi yang dimaksud susah dilakukan karena nuansa politik yang ada dalam tindakan kriminal tersebut.
Lihat kasus Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5

Universality Principle/Kejahatan universal
Dasar pengenaan yurisdiksi ini adalah ketika suatu negara menahan seseorang yang diduga menurut hukum internasional telah melakukan kejahatan internasional. Beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan internasional antara lain adalah:
1) Piracy Jure Gentium pembajakan di laut telah diakui sebagai kejahatan internasional baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam Pasal 14 dan 17 dari The Geneva Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101-107 dari The UN Conventions on the Law of the Seas 1982. Negara yang menahan pembajak boleh mengajukannya ke pengadilan tanpa melihat kewarganegaraan pelaku ataupun korban maupun kapal yang dibajaknya
2) War Crimes kejahatan perang sebagaimana diakui dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai konvensi Jenewa dan Den Haag telah dianggap sebagai kejahatan yang bersifat universal. Prinsip-prinsip dalam Nuremberg trial atau Tokyo trial menajdi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk memberikan yurisdiksi kepada negara yang menangkap pelaku kejahatan perang.
3) War-related Crimes ada dua hal yaitu Crimes against Humanity dan Crimes against Peace

b. Yurisdiksi Khusus yang diakui dalam perjanjian internasional
Kejahatan terhadap Penerbangan
• Tokyo Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft 1963
• Hague Conventions for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970
• Montreal Convention for teh Suppression of Unlawful Act againts the Safety of Civil Aviation 1971
Perbudakan
Tindakan perbudakan telah dilarang melalui Pasal 4 Deklarasi universal Hak Asasi Manusia 1948

c. Ekstradisi
Konsep ekstradisi selalu dilandaskan pada adanya suatu perjanjian internasional antara negara yang ingin melakukan ekstradisi dan tidak ada hukum kebiasaan interansional yang mengatur tentang itu. Dalam perjanjian itu biasanya disebut, antara lain:
1) Jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
2) Kriteria orang yang bisa diekstradisikan
3) Perkecualian terhadap kejahatan politik dari jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
4) Pernyataan bahwa orang yang diekstradisi tak bisa diadili karena perkara yang tidak disebutkan dalam perjanjian ekstradisi
5) Adanya Prima facie, bukti-bukti atas kesalahan yang dilakukan (dikenal dalam common law dan tidak pada civil law sistem)


Kasus-kasus yang relevan

• The Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A no 10: penerapan prinsip subjective dan objective territorial
• Joyce v Director of Public Prosecutions (1946) AC 347: prinsip nasionalitas aktif
• Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5: prinsip protektif
• Lockerbie Case (Libya v United Kingdom/United States) (1992) ICJ Reports, hal 3: terkait dengan konsep jurisdiksi dengan berbagai macam prinsip dasar

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Kedaulatan Wilayah

Pendahuluan

Salah satu kriteria utama dari kedaulatan adalah dimilikinya suatu wilayah yang dapat diidentifikasikan dengan jelas. Wilayah yang dimiliki oleh negara sehingga secara ekslusif tata aturan dan tindakan kepemerintahan lainnya dapat dijalankan.

Kata-Kata Kunci:

a. Cara-cara tradisional mendapat wilayah:

Occupation/Pendudukan
Occupation adalah cara memperoleh suatu wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh negara lain atau ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
1) Wilayah tersebut harus terra nullius, yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Pada masa kolonialisme, penguasa asli seringkali diabaikan sehingga penguasa di sini lebih diartikan sebagai bangsa Eropa saja. Lihat kasus Cooper v Stuart (1889) 14 AC 286
2) Proses kepemilikan harus dilakukan oleh negara dan bukan sektor swasta atau bahkan individual
3) Kekuasaan terhadap wilayah tersebut harus berada dalam posisi “terbuka, terus menerus, efektif dan damai”. Lihat kasus Island Palmas Case (1928) 2 RIAA 829. Disebutkan pula bahwa kekuasaan terhadap wilayah tersebut haruslah aktual/nyata dan bukan hanya nominal/klaim saja. Lihat juga Clipperton Islands Case (1931) 2 RIAA 1105 dan Minquiers and Ecrehos Islands Case (1953) ICJ Reports, hal 47
4) Negara yang menduduki wilayah tersebut harus menunjukkan adanya niatan untuk melakukan penguasaan atau animus occupandi. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan melakukan tindakan-tindakan administratif terhadap wilayah tersebut. Lihat the Legal Status of Eastern Greenland Case (1933) PCIJ Reports, Series A/B, No. 53 disebutkan bahwa: “A claim to sovereignty based ...upon a continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist; the intention and will to act as a sovereign; and some actual exercise or display of such authority”. Dari sisi lain, bagi negara yang merelakan wilayahnya diambil oleh negara lain harus menunjukkan animus relinquendi.

Prescription/Preskripsi
Metode ini adalah proses perolehan wilayah yang tadinya dikuasai oleh negara lain namun karena satu dan lain hal maka penguasaan tersebut menjadi tidak efektif atau daluwarsa. Ada dua cara untuk memperoleh wilayah melalui metode ini:
1) Immemorial Possession: dimana negara mendapatkan kedaulatannya atas suatu wilayah setelah menguasainya sampai sangat lama sehingga penguasa sebelumnya tidak bisa diketahui lagi.
2) Adverse Possession: kondisi dimana penguasa sebelumnya diketahui namun, karena penguasa baru telah secara efektif melakukan pemerintahannya sehingga penguasa lama seperti telah kehilangan kekuasaan untuk menjalankan fungsinya di wilayah tersebut. Penguasa baru dalam hal ini harus mendapatkan semacam “pembiaran” atas tindakan dan kebijakan yang dilakukan dari penguasa sebelumnya. (acquiescence principle). Lihat di Chamizal Arbitration (1911) 9 RIAA 316
Dalam praktek sangat susah membedakan antara occupation dan prescription sehingga biasanya hanya mengandalkan putusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrasi atau badan pengadilan internasional lainnya.

Accretion dan Avulsion
Accretion disebabkan oleh gerakan alam yang terjadi secara bertahap sehingga memunculkan/mengurangi wilayah bagi suatu negara, misalnya proses pengendapan atau erosi akibat gerakan sungai. Sementara itu Avulsion adalah gerakan alam secara mendadak yang merubah landscape suatu negara sehingga sebagain wilayah menjadi hilang/bertambah. Dalam proses accretion maka garis perbatasan bisa berubah sesuai dengan gerakan alam yang perlahan dan bertahap tadi namun dalam situasi avulsion, maka garis perbatasan suatu negara tidak berubah. Lihat Lousiana v Mississippi (1940) 282 US 458

Cession
Metode ini adalah pengalihan kedaulatan suatu wilayah dari satu negara ke negara lainnya dengan melalui suatu perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan secara tegas, adanya satu negara sebagai pihak yang melepaskan kedaulatan dan pihak negara lainnya menerima kedaulatan atas suatu wilayah tertentu. Jika akibat dari penyerahan kedaulatan tersebut berimbas kepada pihak ketiga, maka hak yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga harus dipertahankan sampai kemudian terjadi perjanjian baru antara pihak ketiga dan pihak penguasa baru tersebut. Contoh Cession yang diikuti dengan pembayaran adalah Lousiana dari Perancis dan Alaska dari Rusia ke Amerika Serikat.

Conquest/Penaklukan
Sebelum negara-negara sepakat untuk mencegah penggunaan kekerasan sebagai kebijakan nasional, perolehan suatu wilayah baru dapat dilakukan dengan jalan melakukan penaklukan terhadap kekuasaan negara lain.
1) Subjugation atau Debellation adalah kondisi dimana angakatan bersenjata suatu negara telah dihancurlebrukan oleh kekuatan pendatang yang kemudian menguasai dan menaklukkan wilayah tersebut
2) Implied Abandonment adalah kondisi dimana angkatan bersenjata yang kalah dalam peperangan pergi meninggalkan suatu wilayah sehingga memungkin angkatan bersenjata negara lain untuk masuk dan menaklukan wilayah tersebut.

b. Doktrin “Intertemporal Law”
Dalam Island of Palmas Arbitration (1928) menyatakan bahwa klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan.

c. Prinsip-prinsip modern tentang kedaulatan wilayah
1. Self-Determination
Dalam Status of South-West Africa Case (1950) ICJ Reports, hal 6, Mahkamah Internasional mengakui bahwa prinsip self determination (menentukan nasib sendiri) sebagai faktor yang penting bagi kemerdekaan Namibia dari Afrika Barat Daya. Hal ini sesuai pula dengan prinsip yang ditetapkan dalam Resolusi Sidang Umum PBB no 2625.
Serupa dengan itu dalam Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hal 12 menerapkan lagi prinsip self determination dengan menyatakan bahwa klaim penduduk asli tentang kedaulatan wilayah tidak mengalahkan kedaulatan wilayah yang diklaim oleh negara yang ada di sana.

2. Uti Possidetis
Prinsip ini pertama kali digunakan di negara bekas jajahan Spanyol di wilayah Amerika Latin untuk menyelesaikan kasus perbatasan. Menurut prinsip ini, Btas Administrasi yang dibuat oleh negara penjajah digunakan sebagai batas baru antara negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan. Prinsip ini digunakan dalam kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali) (1986) ICJ Reports, hal 554. hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan garis batas yang telah berlaku efektif sejak masa penjajahan.
Prinsip ini digunakan lagi dalam Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351. Dalam kasus ini, perbatasan yang dibuat oleh penjajah ditransformasikan menjadi garis batas internasional

3. Perjanjian Perbatasan
Perbatasan yang dihasilkan dari sebuah perjanjian internasional dianggap sebagai batas utama dan terpisah dari perjanjian yang menyebutkan hal itu. Prinsip ini diakui oleh Mahkamah Internasional dalam Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hal 6. Meski perjanjiannya sendiri memiliki batas waktu. Namun, persoalan perbatasan yang ada di dalam perjanjian tersebut dianggap masih terus berlangsung.

Kasus-kasus yang relevan

• Island of Palmas Arbitration (1928) 2 RIAA 829: kasus utama dalam occupation dan prescription
• Clipperton Island Arbitration (1931) 2 RIAA 1105: terkait dengan status res nullius dalam occupation
• Minquiers and Ecrehos Case (1953) ICJ Reports, hal 47: tingkat kewenangan pemerintah yang diperlukan dalam penguasaan yang layak (proper occupation)
• Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hal 12: terkait dengan konsep self determination
• Colombia-Venezuela Boundary Arbitration (1922) 1 RIAA 223: terkait dengan konsep accretion
• Burkina Faso v Mali (1986) ICJ Reports, hal 554: terkait dengan penerapan prinsip uti possidetis
• Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351: penerapan prinsip uti possidetis di negara Amerika Selatan
• Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hal 6 terkait dengan status garis batas dalam perjanjian internasional sekalipun perjanjian tersebut sudah lewat waktu

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Thursday, March 30, 2006

Pengakuan

Pendahuluan

Konsep pengakuan terletak diantara hukum dan politik dalam masyarakat internasional. Pengakuan Negara dan pemerintahan hakekatnya adalah tindakan politis yang memiliki implikasi hukum baik secara internasional maupun nasional.

Kata-Kata Kunci:

a. Pengakuan Negara dan Pemerintah:
Doktrin pengakuan diterapkan secara setara baik terhadap negara dan pemerintahan namun secara operasional hal tersebut terjadi ketika ada perubahan yang radikal seperti perang saudara, perang kemerdekaan atau proses penentuan nasib sendiri (self determination), termasuk kemungkinan terjadinya intervensi dari negara asing ke suatu wilayah negara lain.

b. Pengakuan yang Tersurat dan Tersirat
Pengakuan dapat dilakukan secara nyata dengan melalui jalur-jalur formal tentang keberadaan suatu negara dengan menjalin sutau hubungan diplomatik atau menandatangani perjanjian kerjasama bilateral dengan negara atau pemerintahan baru. Namun, pengakuan bisa saja dilakukan secara diam-diam (tersirat) misalnya dengan saling mengirimkan perwakilan negaranya ke negara atau pemerintahan baru (meski tidak membuka kantor perwakilan resmi), atau menjalankan kerjasama tanpa suatu perjanjian tertulis atas kegiatan tertentu.

c. Teori Konstitutif dan Teori Deklarasi
Ada dua teori yang sama-sama kuat dalam mendukung teori pengakuan yang ada dalam masyarakat internasional.
1. Teori konstitutif (Constitutive Theory) yang menganggap bahwa suatu negara belumlah diakui keberadaannya jika belum pernah secara formal diakui oleh negara yang telah berdiri sebelumnya (de Jure)
2. Teori deklarasi (Declaratory Theory) menyatakan bahwa keberadaan suatu negara adalah fakta yang tidak membutuhkan pengakuan resmi dan formal dari negara yang telah berdiri sebelumnya. Pengakuan dari negara lain semata-mata hanya merupakan tindakan deklaratif biasa yang tidak memiliki implikasi hukum (de Facto).
d. Kriteria Pengakuan Negara
The Montevideo Convention on Rights and Duties of States 1933 dalam Pasal 1 menyatakan bahwa : The State as a person of international law should possess the following qualifications:
i. a permanent population
ii. a defined territory
iii. government
iv. capacity to enter into relations with other states

empat kriteria tersebut juga telah dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Meski dalam kenyataannya, pengakuan tetaplah merupakan tindakan yang kontroversial dan masih menajdi bahan perdebatan secara teoritis.

e. Implikasi jika tiada pengakuan
Jika menganut teori konstitutif maka suatu negara yang belum mendapatkan pengakuan tidak memiliki hak dan kewajiban dalam masyarakat internasional. Resikonya adalah, jika negara itu melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum internasional, maka secara teoritis, negara tersebut tidak dapat dikenai sanksi karena memang tidak memiliki hak dan kewajiban. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan posisi suatu negara untuk tidak mengakui keberadaan negara lain. Lihat putusan Tinoco Arbitration (1923) 1 RIAA 369

Di sisi lain, jika pengakuan hanya merupakan pernyataan tanpa memiliki implikasi hukum apapun sebagaimana dianut dalam teori deklarasi maka, begitu secara de facto negara tersebut ada maka secara de jure pula negara tersebut telah terikat dengan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat hukum internasional.

Kasus-Kasus yang Relevan

• Deutsche Continental Gas-Gesellschaft v Polish State (1925) 5 AD 11: pentingnya wilayah yang jelas bagi munculnya pengakuan suatu negara
• Austro-German Customs Union Case (1931) PCIJ Reports, Series A/B, no 41, perlunya ada independensi dari suatu negara untuk bisa diakui
• Western Sahara case (1975) ICJ Reports, hal 12, menekankan pentingnya populasi yang jelas bagi adanya suatu pengakuan
• Tinoco Arbitration (1923) 1 RIAA 369, menunjukkan bahwa de facto keberadaan suatu negara secara otomatis akan membuat negara tersebut memiliki kewajiban yang harus dipenuhi dalam masyarakat internasional



The Avalon Project at Yale Law School
Convention on Rights and Duties of States (inter-American); December 26, 1933

Convention signed at Montevideo December 26, 1933; Senate advice and consent to ratification, with a reservation, June 15, 1934; Ratified by the President of the United States, with a reservation, June 29, 1934; Ratification of the United States deposited with the Pan American Union July 13, 1934; Entered into force December 26, 1934; Proclaimed by the President of the United States January 18, 1935; Article 8 reaffirmed by protocol of December 23, 1936.
49 Stat. 3097;
Treaty Series 881

The Governments represented in the Seventh International Conference of American States:

Wishing to conclude a Convention on Rights and Duties of States, have appointed the following Plenipotentiaries:

Honduras: MIGUEL PAZ BARAONA, AUGUSTO C. COELLO, LUIS BOGRAN

United States of America: CORDELL HULL, ALEXANDER W. WEDDELL, J. REUBEN CLARK, J. BUTLER WRIGHT, SPRUILLE BRADEN, Miss SOPHONISBA P. BRECKINRIDGE

El Salvador: HECTOR DAVID CASTRO, ARTURO RAMON AVILA, J. CIPRIANO CASTRO

Dominican Republic: TULIO M. CESTERO

Haiti: JUSTIN BARAU, FRANCIS SALGADO, ANTOINE PIERRE-PAUL, EDMOND MANGONES

Argentina: CARLOS SAAVEDRA LAMAS, JUAN F. CAFFERATA, RAMON S. CASTILLO, CARLOS BREBBIA, ISIDORO RUIZ MORENO, LUIS A. PODESTA COSTA, RAUL PREBISCH, DANIEL ANTOKOLETZ

Venezuela: CESAR ZUMETA, LUIS CHURTON, JOSE RAFAEL MONTTLLA

Uruguay: ALBERTO MANE, JUAN JOSE AMEZAGA, JOSE G. ANTUNA, JUAN CARLOS BLANCO, Senora SOFIA A. V. DE DEMICHELI, MARTIN R. ECHEGOYEN, LUIS ALBERTO DE HERRERA, PEDRO MANINI RIOS, MATEO MARQUES CASTRO, RODOLFO MEZZERA, OCTAVIO MORAT6, LUIS MORQUIO, TEOFILO PINEYRO CHAIN, DARDO REGULES, JOSE SERRATO, JOSE PEDRO VARELA

Paraguay: JUSTO PASTOR BENITEZ, GERONIMO RIART, HORACIO A. FERNANDEZ, Senorita MARIA F. GONZALEZ

Mexico: JOSE MANUEL PUIG CASAURANC, ALFONSO REYES, BASILIO VADILLO, GENARO V. VASQUEZ, ROMEO ORTEGA, MANUEL J. SIERRA, EDUARDO SUAREZ

Panama: J. D. AROSEMENA, EDUARDO E. HOLGUIN, OSCAR R. MULLER, MAGIN PONS

Bolivia: CASTO ROJAS, DAVID ALVESTEGUI, ARTURO PINTO ESCALIER

Guatemala: ALFREDO SKINNER KLEE, JOSE GONZALEZ CAMPO, CARLOS SALAZAR, MANUEL ARROYO

Brazil: AFRANIO DE MELLO FRANCO, LUCILLO A DA CUNHA BUENO, FRANCISCO LUIS DA SILVA CAMPOS, GILBERTO AMADO, CARLOS CHAGAS, SAMUEL RIBEIRO

Ecuador: AUGUSTO AGUIRRE APARICIO, HUMBERTO ALBORNOZ, ANTONIO PARRA, CARLOS PUIG VILASSAR, ARTURO SCARONE

Nicaragua: LEONARDO ARGUELLO, MANUEL CORDERO REYES, CARLOS CUADRA PASOS

Colombia: ALFONSO LOPEZ, RAIMUNDO RIVAS, JOSE CAMACEO CARRENO

Chile: MIGUEL CRUCHAGA TOCORNAL, OCTAVIO SENORET SILVA, GUSTAVO RIVERA, JOSE RAMON GUTIERREZ, FELIX NIETO DEL RIO, FRANCISCO FIGUEROA SANCHEZ, BENJAMIN COHEN

Peru: ALFREDO SOLE Y MURO, FELIPE BARREDA LAOS, LUIS FERNAN CISNEROS

Cuba: ANGEL ALBERTO GIRAUDY, HERMINIO PORTELL VILA, ALFREDO NOGUEIRA

Who, after having exhibited their Full Powers, which were found to be in good and due order, have agreed upon the following:

ARTICLE 1

The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

ARTICLE 2

The federal state shall constitute a sole person in the eyes of international law.

ARTICLE 3

The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.

The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

ARTICLE 4

States are juridically equal, enjoy the same rights, and have equal capacity in their exercise. The rights of each one do not depend upon the power which it possesses to assure its exercise, but upon the simple fact of its existence as a person under international law.

ARTICLE 5

The fundamental rights of states are not susceptible of being affected in any manner whatsoever.

ARTICLE 6

The recognition of a state merely signifies that the state which recognizes it accepts the personality of the other with all the rights and duties determined by international law. Recognition is unconditional and irrevocable.

ARTICLE 7

The recognition of a state may be express or tacit. The latter results from any act which implies the intention of recognizing the new state.

ARTICLE 8

No state has the right to intervene in the internal or external affairs of another.

ARTICLE 9

The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all the inhabitants.

Nationals and foreigners are under the same protection of the law and the national authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the nationals.

ARTICLE 10

The primary interest of states is the conservation of peace. Differences of any nature which arise between them should be settled by recognized pacific methods.

ARTICLE 11

The contracting states definitely establish as the rule of their conduct the precise obligation not to recognize territorial acquisitions or special advantages which have been obtained by force whether this consists in the employment of arms, in threatening diplomatic representations, or in any other effective coercive measure. The territory of a state is inviolable and may not be the object of military occupation nor of other measures of force imposed by another state directly or indirectly or for any motive whatever even temporarily.

ARTICLE 12

The present Convention shall not affect obligations previously entered into by the High Contracting Parties by virtue of international agreements.

ARTICLE 13

The present Convention shall be ratified by the High Contracting Parties in conformity with their respective constitutional procedures. The Minister of Foreign Affairs of the Republic of Uruguay shall transmit authentic certified copies to the governments for the aforementioned purpose of ratification. The instrument of ratification shall be deposited in the archives of the Pan American Union in Washington, which shall notify the signatory governments of said deposit. Such notification shall be considered as an exchange of ratifications.

ARTICLE 14

The present Convention will enter into force between the High Contracting Parties in the order in which they deposit their respective ratifications.

ARTICLE 15

The present Convention shall remain in force indefinitely but may be denounced by means of one year's notice given to the Pan American Union, which shall transmit it to the other signatory governments. After the expiration of this period the Convention shall cease in its effects as regards the party which denounces but shall remain in effect for the remaining High Contracting Parties.

ARTICLE 16

The present Convention shall be open for the adherence and accession of the States which are not signatories. The corresponding instruments shall be deposited in the archives of the Pan American Union which shall communicate them to the other High Contracting Parties.

In witness whereof, the following Plenipotentiaries have signed this Convention in Spanish, English, Portuguese and French and hereunto affix their respective seals in the city of Montevideo, Republic of Uruguay, this 26th day of December, 1933.

RESERVATIONS

The Delegation of the United States of America, in signing the Convention on the Rights and Duties of States, does so with the express reservation presented to the Plenary Session of the Conference on December 22, 1933, which reservation reads as follows:

The Delegation of the United States, in voting "yes" on the final vote on this committee recommendation and proposal, makes the same reservation to the eleven articles of the project or proposal that the United States Delegation made to the first ten articles during the final vote in the full Commission, which reservation is in words as follows:

"The policy and attitude of the United States Government toward every important phase of international relationships in this hemisphere could scarcely be made more clear and definite than they have been made by both word and action especially since March 4. I [Secretary of State Cordell Hull, chairman of U.S. delegation] have no disposition therefore to indulge in any repetition or rehearsal of these acts and utterances and shall not do so. Every observing person must by this time thoroughly understand that under the Roosevelt Administration the United States Government is as much opposed as any other government to interference with the freedom, the sovereignty, or other internal affairs or processes of the governments of other nations.

"In addition to numerous acts and utterances in connection with the carrying out of these doctrines and policies, President Roosevelt, during recent weeks, gave out a public statement expressing his disposition to open negotiations with the Cuban Government for the purpose of dealing with the treaty which has existed since 1903. I feel safe in undertaking to say that under our support of the general principle of non-intervention as has been suggested, no government need fear any intervention on the part of the United States under the Roosevelt Administration. I think it unfortunate that during the brief period of this Conference there is apparently not time within which to prepare interpretations and definitions of these fundamental terms that are embraced in the report. Such definitions and interpretations would enable every government to proceed in a uniform way without any difference of opinion or of interpretations. I hope that at the earliest possible date such very important work will be done. In the meantime in case of differences of interpretations and also until they (the proposed doctrines and principles) can be worked out and codified for the common use of every government, I desire to say that the United States Government in all of its international associations and relationships and conduct will follow scrupulously the doctrines and policies which it has pursued since March 4 which are embodied in the different addresses of President Roosevelt since that time and in the recent peace address of myself on the 15th day of December before this Conference and in the law of nations as generally recognized and accepted".

The delegates of Brazil and Peru recorded the following private vote with regard to article 11: "That they accept the doctrine in principle but that they do not consider it codifiable because there are some countries which have not yet signed the Anti-War Pact of Rio de Janeiro 4 of which this doctrine is a part and therefore it does not yet constitute positive international law suitable for codification".

Honduras: M. PAZ BARAONA, AUGUSTO C. COELLO, Luls BOGRXN

United States of America: ALEXANDER W. WEDDELL, J. BUTLER WRIGUT

El Salvador: HECTOR DAVID CASTRO, ARTURO R. AVILA

Dominican Republic: TULIO M. CESTERO

Haiti: J. BARAU, F. SALGADO, EDMOND MANGONES, A. PRRE. PAUL

Argentina: CARLOS SAAVEDRA LAMAS, JUAN F. CAFFERATA, RAMON S. CASTILLO, I. Rulz MORENO, L. A. PODESTA COSTA, D. ANTOKOLETZ

Venezuela: LUIS CHURION, J. R. MONTILLA

Uruguay: A. MANE, JOSE PEDRO VARELA, MATEO MARQuEs CASTRO, DARDO REGULES, SOFIA ALVAREZ VIGNOLI DE DEMICIIELI, TEOFILO PINEYRO CHAIN, LUIS A. DE HERRERA, MARTIN R. EcnEcoYEN, JOSE G. ANTUNA, J. C. BLANCO, PEDRO MANINI RIOS, RODOLFO MEZZERA, OCTAVTO MORATO, LUIS MOROQUIO, JOSE SERRATO

Paraguay: JUSTO PASTOR BENITEZ, MARIA F. GONZALEZ

Mexico: B. VADILLO, M. J. STERRA, EDUARDO SUAREZ

Panama: J. D. AROSEMENA, MAGIN PONS, EDUARDO E. HOLGUIN

Guatemala: M. ARROYO

Brazil: LUCILLO A. DA CUNHA BUENO, GILBERTO AMADO

Ecuador: A. AGUIRRE APARICIO, H. ALBORNOZ, ANTONIO PARRA V., C. PUIG V., ARTURO SCARONE

Nicaragua: LEONARDO ARGUELLO, M. CORDERO REYES, CARLOS CUADRA PASOS

Colombia: ALFONSO LOPEZ, RAIMUNDO RIVAS

Chile: MIGUEL CRUCHAGA, J. RAMON GUTIERREZ, F. FIGUEROA, F. NIETO DEL RIO, B. COHEN

Peru: (with the reservation set forth) ALFREDO SOLF Y MURO

Cuba: ALBERTO GIRAUDY, HERMINIO PORTELL VILA, ING. NOGUEIRA

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press

Sumber Hukum Internasional

Pendahuluan:

Kumpulan sumber hukum internasional merupakan aturan dan prinsip yang menjadi rujukan bagi ahli hukum internasional ketika akan menentukan hukum mana dan aturan seprti apa yang akan diberlakukan. Keutuhan dan kekuatan argumentasi hukum akan dinilai dari seberapa kuat sumber-sumber hukum yang digunakannya.

Kata-Kata Kunci:

a. Sumber hukum formil dan materiil

Sumber Hukum Formil merujuk kepada adanya proses formal yang diakui metodenya oleh institusi yang berwenang menerbitkan ketentuan yang mengikat yang biasanya diterapkan dalam sebuah sistem hukum tertentu. Dari sebuah hukum formal inilah validitas sebuah hukum ditemukan.

Sumber Hukum Materiil merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.

Dengan kata lain, sumber hukum materiil memberikan isi dari hukum sementara hukum formil memberikan kewenangan dan validitas pemberlakuannya.

Pasal 38 (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara yang diajukan, mereka akan merujuk kepada sumber-sumber hukum sebagai berikut:

1. Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, yang menjadi hukum dan diakui oleh negara-negara yang berperkara;
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti praktek negara yang diterima sebagai sebuah hukum;
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum yangn diakui oleh bangsa yang beradab; dan
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum tambahan dalam menentukan adanya sebuah hukum.

Mahkamah Internasional juga mengakui adanya prinsip ex aequo et bono sesuai dengan Pasal 38 (2) yang memungkinkan Mahkamah memutuskan suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Lihat kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali 1986)




b. Hirarki Prioritas
Urut-urutan yang disebutkan dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional bukanlah merupakan hirarki ketentuan yang didasarkan kepada bobot materiil ketentuan tersebut melainkan hanya urutan prioritas kemudahan penggunaan ketika Mahkamah Internasional akan menggunakannya dalam memutus sebuah perkara.

c. Penjelasan Masing-masing Sumber Hukum

Traktat/ Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Secara umum dikelompok menjadi dua:
1. Perjanjian Multilateral yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”. Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.
2. Perjanjian Bilateral adalah Kontrak Internasional antara dua negara. Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut.

Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) telah mengatur hal-hal yang menyangkut proses negosiasi atau penundukkan (accession), validitas, perubahan (amendment), penggantian (modification), pengecualian (reservation), penundaan (suspension) atau pemberhentian (termination) dari sebuah perjanjian internasional.

Pernyataan Sepihak (Unilateral Statement) atau Deklarasi yang memuat hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungannya dengan peristiwa tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah perjanjian sepihak yang menjadi suatu sumber hukum terbatas bagi negara yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Lihat Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports, hal 253 paragraf 43

Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
1. Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama. Lihat Lotus Case (1927) PCIJ reports, Series A, No. 10
2. Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi. Lihat North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3
3. Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Lihat preamble Geneva Convention on the High Seas 1958 dan treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space 1967.

Kebiasaan Internasional (Customary Law)
Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai sumber hukum internasional:
1. Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbegai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality). Lihat Fisheries Jurisdiction (Merits) Case (1974) ICJ Reports, hal 3 dan North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3
2. Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.

Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB.

Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Lihat Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya.

Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja. Lihat Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal. 266 dan The Rights of Passage over Indian Territory Case (1960) ICJ Reports,hal 6




Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup.

Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional.

Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah Good Faith, Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan Effectivites. Lihat Diversion of Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of Preah Vihear Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports hal 4

Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli dan Keputusan Badan Internasional

Keputusan Pengadilan

Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”. Konsekuensinya:

Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda. Lihat Certain German Interest in Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7. Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu.

Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.

Ajaran Para Ahli Hukum Internasional

Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.

Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari prakte negara-negara.

Resolusi Majelis Umum PBB

Resolusi PBB memiliki kekuatan mengikat terhadap hal-hal yang ditetapkan dalam statuta. Hal-hal tersebut adalah yang terkait dengan urusan administrasi dan keuangan.

PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip hukum internasional sehingga satu-satunya cara agar apa yang disepakati di dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional adalah dengan melalui prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap merefleksikan opinio juris dari negara-negara yang menyetujui resolusi itu.

Meski demikian tetap harus diperhatikan dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang menghendaki pernyataan persetujuannya itu dianggap sebagai opinio juris dan bukan sekedar pernyataan persetujuan belaka.

Kasus-Kasus yang Relevan:
• Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports, hal 253: Pernyataan Sepihak sebagai hukum
• North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3: lamanya (duration) dan tingkat generalisasi (generality) dari praktek negara-negara sebagai prasyarat tercukupi suatu praktek negara menjadi hukum kebiasaan internasional
• Fisheries Jurisdiction Case (1974) ICJ Reports, hal 3: Komentar tentang lamanya dan tingkat generalisasi sebagai prasyarat praktek negara dalam menjadi hukum kebiasaan internasional
• Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A, no 10: Pernyataan akibat hukum dari pembiaran (acquiescence) dalam pembentukan kebiasaan internasional dan makna dari opinio juris sive necessitatis.
• Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal 266: Pernyataan yang mendukung keberadaan hukum nasional sebagai bagian dari hukum internasional
• The Diversion of Water fromthe Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70: pertimbangan konsep Equity sebagai Prinsip Umun Internasional

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press