Yurisdiksi Negara
Pendahuluan
Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang-undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.
Kata-Kata Kunci:
a. Dasar-dasar yurisdiksi negara menurut hukum internasional
Territorial Jurisdiction/Yursidiksi Wilayah
Yurisdiksi wilayah adalah dasar yang dipakai untuk menuntut penegakan suatu peristiwa terhadap hukum negara setempat. Semua peristiwa kriminal yang terjadi dalam wilayah suatu negara telah membuat negara tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum yang telah dibuatnya. Dalam Compania Naviera Vascongado v Chrisina SS (1938) AC 485, disebutkan bahwa prinsip yurisdiksi wilayah ini telah membuat semua orang, tanpa melihat kewarganegaraannya dapat diperiksa, dituntut dan dihukum menurut hukum dimana peristiwa pidana dilakukan.
Dalam hal ini bisa terjadi setidak-tidaknya dua kemungkinan:
1) Subjective Territorial Principles, terkait dengan tindakan awal suatu kejahatan dilakukan. Seseorang yang mengirimkan roti beracun ke negara lain, bisa dianggap telah melakukan tindak pidana di wilayah dimana roti tersebut dikirimkan. Lihat Treacy v DPP (1971) AC 537
2) Objective Territorial Principles; terkait dengan dimana akibat dari kejahatan tersebut terjadi. Ketika orang yang memakan roti beracun itu meinggal dunia, maka disitulah menurut prinsip dianggap telah terjadi tindak pidana. Lihat Lotus Case (1923) PCIJ Reports, Series A, no 10
Active Nationality Principle/Nationalitas Aktif
Hubungan antara negara dan warganegaranya menjadi dasar bagi pengenaan prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif. Setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhi hukum negaranya, sekalipun saat melakukan kejahatan itu tidak berada di wilayah negara tersebut. Misalnya, Negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi atas warga negara Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat. Meski demikian, tindakan untuk membawa warganegaranya ke depan meja hukum tidak boleh dilakukan bila hal tersebut membuat kewajiban suatu negara terhadap negara lainnya jadi terabaikan. Lihat Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4
Passive Personality Principle/ Personalitas Pasif
Prinsip ini memungkinkan suatu negara untuk memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah warga negara mereka. Misalnya, jika terjadi pembunuhan warga negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Australia di wilayah Australia, maka Indonesia masih bisa diberi hak untuk melakukan penuntutan dan pemeriksaaan serta menghukum pelaku atas dasar prinsip ini. Lihat United States v Yunis (1989) 83 AJIL 94.
Namun, suatu negara yang secara konsisten menolak penerapan prinsip dalam sistem hukumnya (perssistent objector) dapat tidak mengakui yurisdiksi negara lain yang mengakui prinsip ini. Lihat kasus Cutting Case (1887) 2 Moore’s Digest 228
Protective (Security) Jurisdiction
Perluasan dari yurisdiksi negara dapat diberikan kepada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan suatu negara. Tindakan yang dimaksud antara lain: Rencana untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang dilakukan negara lain di negaar lain, tindakan spionase, memalsukan maat uang atau sebuah konspirasi untuk melanggar peraturan keiimigrasian. Dua alasan mengapa hal ini perlu diadakan:
1) jika dibiarkan maka tindakan itu akan merugikan dan bahkan mengancam keberlangsungan suatu negara
2) jika tidak ada perluasan yurisdiksi maka negara dimana tindakan itu dilakukan mungkin tidak akan menganggap bahwa tindakan itu adalah tindak pidana terhadapnya dan proses extradisi yang dimaksud susah dilakukan karena nuansa politik yang ada dalam tindakan kriminal tersebut.
Lihat kasus Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5
Universality Principle/Kejahatan universal
Dasar pengenaan yurisdiksi ini adalah ketika suatu negara menahan seseorang yang diduga menurut hukum internasional telah melakukan kejahatan internasional. Beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan internasional antara lain adalah:
1) Piracy Jure Gentium pembajakan di laut telah diakui sebagai kejahatan internasional baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam Pasal 14 dan 17 dari The Geneva Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101-107 dari The UN Conventions on the Law of the Seas 1982. Negara yang menahan pembajak boleh mengajukannya ke pengadilan tanpa melihat kewarganegaraan pelaku ataupun korban maupun kapal yang dibajaknya
2) War Crimes kejahatan perang sebagaimana diakui dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai konvensi Jenewa dan Den Haag telah dianggap sebagai kejahatan yang bersifat universal. Prinsip-prinsip dalam Nuremberg trial atau Tokyo trial menajdi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk memberikan yurisdiksi kepada negara yang menangkap pelaku kejahatan perang.
3) War-related Crimes ada dua hal yaitu Crimes against Humanity dan Crimes against Peace
b. Yurisdiksi Khusus yang diakui dalam perjanjian internasional
Kejahatan terhadap Penerbangan
• Tokyo Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft 1963
• Hague Conventions for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970
• Montreal Convention for teh Suppression of Unlawful Act againts the Safety of Civil Aviation 1971
Perbudakan
Tindakan perbudakan telah dilarang melalui Pasal 4 Deklarasi universal Hak Asasi Manusia 1948
c. Ekstradisi
Konsep ekstradisi selalu dilandaskan pada adanya suatu perjanjian internasional antara negara yang ingin melakukan ekstradisi dan tidak ada hukum kebiasaan interansional yang mengatur tentang itu. Dalam perjanjian itu biasanya disebut, antara lain:
1) Jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
2) Kriteria orang yang bisa diekstradisikan
3) Perkecualian terhadap kejahatan politik dari jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
4) Pernyataan bahwa orang yang diekstradisi tak bisa diadili karena perkara yang tidak disebutkan dalam perjanjian ekstradisi
5) Adanya Prima facie, bukti-bukti atas kesalahan yang dilakukan (dikenal dalam common law dan tidak pada civil law sistem)
Kasus-kasus yang relevan
• The Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A no 10: penerapan prinsip subjective dan objective territorial
• Joyce v Director of Public Prosecutions (1946) AC 347: prinsip nasionalitas aktif
• Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5: prinsip protektif
• Lockerbie Case (Libya v United Kingdom/United States) (1992) ICJ Reports, hal 3: terkait dengan konsep jurisdiksi dengan berbagai macam prinsip dasar
Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press
Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang-undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.
Kata-Kata Kunci:
a. Dasar-dasar yurisdiksi negara menurut hukum internasional
Territorial Jurisdiction/Yursidiksi Wilayah
Yurisdiksi wilayah adalah dasar yang dipakai untuk menuntut penegakan suatu peristiwa terhadap hukum negara setempat. Semua peristiwa kriminal yang terjadi dalam wilayah suatu negara telah membuat negara tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum yang telah dibuatnya. Dalam Compania Naviera Vascongado v Chrisina SS (1938) AC 485, disebutkan bahwa prinsip yurisdiksi wilayah ini telah membuat semua orang, tanpa melihat kewarganegaraannya dapat diperiksa, dituntut dan dihukum menurut hukum dimana peristiwa pidana dilakukan.
Dalam hal ini bisa terjadi setidak-tidaknya dua kemungkinan:
1) Subjective Territorial Principles, terkait dengan tindakan awal suatu kejahatan dilakukan. Seseorang yang mengirimkan roti beracun ke negara lain, bisa dianggap telah melakukan tindak pidana di wilayah dimana roti tersebut dikirimkan. Lihat Treacy v DPP (1971) AC 537
2) Objective Territorial Principles; terkait dengan dimana akibat dari kejahatan tersebut terjadi. Ketika orang yang memakan roti beracun itu meinggal dunia, maka disitulah menurut prinsip dianggap telah terjadi tindak pidana. Lihat Lotus Case (1923) PCIJ Reports, Series A, no 10
Active Nationality Principle/Nationalitas Aktif
Hubungan antara negara dan warganegaranya menjadi dasar bagi pengenaan prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif. Setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhi hukum negaranya, sekalipun saat melakukan kejahatan itu tidak berada di wilayah negara tersebut. Misalnya, Negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi atas warga negara Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat. Meski demikian, tindakan untuk membawa warganegaranya ke depan meja hukum tidak boleh dilakukan bila hal tersebut membuat kewajiban suatu negara terhadap negara lainnya jadi terabaikan. Lihat Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4
Passive Personality Principle/ Personalitas Pasif
Prinsip ini memungkinkan suatu negara untuk memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah warga negara mereka. Misalnya, jika terjadi pembunuhan warga negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Australia di wilayah Australia, maka Indonesia masih bisa diberi hak untuk melakukan penuntutan dan pemeriksaaan serta menghukum pelaku atas dasar prinsip ini. Lihat United States v Yunis (1989) 83 AJIL 94.
Namun, suatu negara yang secara konsisten menolak penerapan prinsip dalam sistem hukumnya (perssistent objector) dapat tidak mengakui yurisdiksi negara lain yang mengakui prinsip ini. Lihat kasus Cutting Case (1887) 2 Moore’s Digest 228
Protective (Security) Jurisdiction
Perluasan dari yurisdiksi negara dapat diberikan kepada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan suatu negara. Tindakan yang dimaksud antara lain: Rencana untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang dilakukan negara lain di negaar lain, tindakan spionase, memalsukan maat uang atau sebuah konspirasi untuk melanggar peraturan keiimigrasian. Dua alasan mengapa hal ini perlu diadakan:
1) jika dibiarkan maka tindakan itu akan merugikan dan bahkan mengancam keberlangsungan suatu negara
2) jika tidak ada perluasan yurisdiksi maka negara dimana tindakan itu dilakukan mungkin tidak akan menganggap bahwa tindakan itu adalah tindak pidana terhadapnya dan proses extradisi yang dimaksud susah dilakukan karena nuansa politik yang ada dalam tindakan kriminal tersebut.
Lihat kasus Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5
Universality Principle/Kejahatan universal
Dasar pengenaan yurisdiksi ini adalah ketika suatu negara menahan seseorang yang diduga menurut hukum internasional telah melakukan kejahatan internasional. Beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan internasional antara lain adalah:
1) Piracy Jure Gentium pembajakan di laut telah diakui sebagai kejahatan internasional baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam Pasal 14 dan 17 dari The Geneva Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101-107 dari The UN Conventions on the Law of the Seas 1982. Negara yang menahan pembajak boleh mengajukannya ke pengadilan tanpa melihat kewarganegaraan pelaku ataupun korban maupun kapal yang dibajaknya
2) War Crimes kejahatan perang sebagaimana diakui dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai konvensi Jenewa dan Den Haag telah dianggap sebagai kejahatan yang bersifat universal. Prinsip-prinsip dalam Nuremberg trial atau Tokyo trial menajdi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk memberikan yurisdiksi kepada negara yang menangkap pelaku kejahatan perang.
3) War-related Crimes ada dua hal yaitu Crimes against Humanity dan Crimes against Peace
b. Yurisdiksi Khusus yang diakui dalam perjanjian internasional
Kejahatan terhadap Penerbangan
• Tokyo Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft 1963
• Hague Conventions for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970
• Montreal Convention for teh Suppression of Unlawful Act againts the Safety of Civil Aviation 1971
Perbudakan
Tindakan perbudakan telah dilarang melalui Pasal 4 Deklarasi universal Hak Asasi Manusia 1948
c. Ekstradisi
Konsep ekstradisi selalu dilandaskan pada adanya suatu perjanjian internasional antara negara yang ingin melakukan ekstradisi dan tidak ada hukum kebiasaan interansional yang mengatur tentang itu. Dalam perjanjian itu biasanya disebut, antara lain:
1) Jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
2) Kriteria orang yang bisa diekstradisikan
3) Perkecualian terhadap kejahatan politik dari jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
4) Pernyataan bahwa orang yang diekstradisi tak bisa diadili karena perkara yang tidak disebutkan dalam perjanjian ekstradisi
5) Adanya Prima facie, bukti-bukti atas kesalahan yang dilakukan (dikenal dalam common law dan tidak pada civil law sistem)
Kasus-kasus yang relevan
• The Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A no 10: penerapan prinsip subjective dan objective territorial
• Joyce v Director of Public Prosecutions (1946) AC 347: prinsip nasionalitas aktif
• Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5: prinsip protektif
• Lockerbie Case (Libya v United Kingdom/United States) (1992) ICJ Reports, hal 3: terkait dengan konsep jurisdiksi dengan berbagai macam prinsip dasar
Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press
0 Comments:
Post a Comment
<< Home