Pertanggungjawaban Negara
Pendahuluan
Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan menyebabkan kerugian negara lain. .
Kata-Kata Kunci:
Semua sistem hukum di negara-negara dunia mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi subyek hukum yang tidak mematuhi ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish Zones of Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban negara ialah:
“ Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international character involve international liability. If the obligation is not met, responsibility entails the duty to make raparations”.
Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam draft Pasal-Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal penting (sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90):
a. Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.
Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya adalah pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional ataupun perbuatan melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada perbedaan antara kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional dan tindakan pidana yang memiliki unsur internasional. Dalam draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik internasional sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.
Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which results from the breach by a state of an international obligation so essential for the protection of fundamental interests of the international community that its breach is recognized as a crime by that community as a whole...”
Empat kategori kejahatan internasional adalah:
1) Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
2) Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi kolonial
3) Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui secara mendunia sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat manusia seperti pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan apartheid.
4) Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan pelestarian lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara massal dan mencemari lautan
Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum ditetapkan sebagai kejahatan internasional membuat suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun, banyak hal yang masih kontroversial untuk kasus pidana.
b. Imputability
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara terhadap tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan yang dapat dikaitkan dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara lain:
1) Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai pilar utama pemerintahan (Draft Pasal 6).
2) Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas yang ada di wilayahnya masing-masing (Draft Pasal 5).
3) Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya (Draft Pasal 8)
Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan dengan hukum internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, No 7
1) Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan aparatnya, serendah apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat pula Masey Case (1927) 4 RIAA 15
2) Negara juga bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa membuktikan bahwa tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang melakukan kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3) Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan itu adalah tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926) 4 RIAA 110
4) Negara tidak harus bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing ataupun organisasi internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan 13)
5) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio Claim (1903) 10 RIAA 499
6) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bertindak tidak atas nama negara
c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang melakukan delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti dari kesalahan atau itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim (1929) 5 RIAA 516 “ the doctrine of objective responsibility of the state, that is to say, a responsibility for those acts committed by its officials or its organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society Claim (1920) 6 RIAA 42
d. Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar
Alasan Pemaaf:
1) tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2) tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam hukum internasional
3) ada force majeure
Alasan Pembenar:
1) Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan untuk melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada negara lain yang dirugikan atas tindakan tersebut
2) Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri
e. Reparations
Setiap pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan memunculkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam Chorzow Factory Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17, disebutkan bahwa “Reparation should be made through restitution in kind”
Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297 disebutkan bahwa “...his sole remedy is an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307 disebutkan “Just Compensation implies a complete restitution of the status quo ante, based not upon future gains but upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of similar property”
f. Nationality of Claims (kewarganegaraan penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap pelanggaran ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa dibuktikan bahwa pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi negara tersebut. Lihat Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports, Series A/B, No 76.
g. Menentukan kewarganegaraan
Individu
Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan siapa sajakah yang bisa mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip utama dalam hal ini adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui
Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut
Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.
Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”
Kapal Laut
Sesuai dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas dalam Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini perlu ditambahkan pula perlunya genuine link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal jika terjadi keragu-raguan akan status kapal tersebut.
Kapal Udara
Pasal 17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.
h. Exhaustion of Local remedies
Dalam upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba melakukan semua cara dalam level nasional masing-masing.
Kasus-kasus yang relevan
• Chorzow Factory Case (Indemnity) (merits) (1928) PCIJ Reports, Series A no 17: Sah dan Tidaknya suatu expropriation
• Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3: Nasionalitas perusahaan
• Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4: Kewarganegaraan dan Genuine link individual
• Texaco v Libya (1977) 53 ILR 389: Ketentuan tentang reparations
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional
Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press
Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan menyebabkan kerugian negara lain. .
Kata-Kata Kunci:
Semua sistem hukum di negara-negara dunia mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi subyek hukum yang tidak mematuhi ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish Zones of Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban negara ialah:
“ Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international character involve international liability. If the obligation is not met, responsibility entails the duty to make raparations”.
Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam draft Pasal-Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal penting (sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90):
a. Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.
Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya adalah pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional ataupun perbuatan melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada perbedaan antara kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional dan tindakan pidana yang memiliki unsur internasional. Dalam draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik internasional sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.
Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which results from the breach by a state of an international obligation so essential for the protection of fundamental interests of the international community that its breach is recognized as a crime by that community as a whole...”
Empat kategori kejahatan internasional adalah:
1) Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
2) Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi kolonial
3) Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui secara mendunia sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat manusia seperti pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan apartheid.
4) Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan pelestarian lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara massal dan mencemari lautan
Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum ditetapkan sebagai kejahatan internasional membuat suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun, banyak hal yang masih kontroversial untuk kasus pidana.
b. Imputability
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara terhadap tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan yang dapat dikaitkan dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara lain:
1) Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai pilar utama pemerintahan (Draft Pasal 6).
2) Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas yang ada di wilayahnya masing-masing (Draft Pasal 5).
3) Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya (Draft Pasal 8)
Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan dengan hukum internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, No 7
1) Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan aparatnya, serendah apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat pula Masey Case (1927) 4 RIAA 15
2) Negara juga bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa membuktikan bahwa tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang melakukan kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3) Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan itu adalah tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926) 4 RIAA 110
4) Negara tidak harus bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing ataupun organisasi internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan 13)
5) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio Claim (1903) 10 RIAA 499
6) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bertindak tidak atas nama negara
c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang melakukan delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti dari kesalahan atau itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim (1929) 5 RIAA 516 “ the doctrine of objective responsibility of the state, that is to say, a responsibility for those acts committed by its officials or its organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society Claim (1920) 6 RIAA 42
d. Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar
Alasan Pemaaf:
1) tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2) tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam hukum internasional
3) ada force majeure
Alasan Pembenar:
1) Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan untuk melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada negara lain yang dirugikan atas tindakan tersebut
2) Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri
e. Reparations
Setiap pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan memunculkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam Chorzow Factory Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17, disebutkan bahwa “Reparation should be made through restitution in kind”
Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297 disebutkan bahwa “...his sole remedy is an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307 disebutkan “Just Compensation implies a complete restitution of the status quo ante, based not upon future gains but upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of similar property”
f. Nationality of Claims (kewarganegaraan penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap pelanggaran ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa dibuktikan bahwa pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi negara tersebut. Lihat Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports, Series A/B, No 76.
g. Menentukan kewarganegaraan
Individu
Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan siapa sajakah yang bisa mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip utama dalam hal ini adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui
Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut
Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.
Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”
Kapal Laut
Sesuai dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas dalam Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini perlu ditambahkan pula perlunya genuine link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal jika terjadi keragu-raguan akan status kapal tersebut.
Kapal Udara
Pasal 17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.
h. Exhaustion of Local remedies
Dalam upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba melakukan semua cara dalam level nasional masing-masing.
Kasus-kasus yang relevan
• Chorzow Factory Case (Indemnity) (merits) (1928) PCIJ Reports, Series A no 17: Sah dan Tidaknya suatu expropriation
• Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3: Nasionalitas perusahaan
• Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4: Kewarganegaraan dan Genuine link individual
• Texaco v Libya (1977) 53 ILR 389: Ketentuan tentang reparations
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional
Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press
0 Comments:
Post a Comment
<< Home