Monday, May 01, 2006

Mahkamah Internasional

Pendahuluan

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Piagam PBB.

Kata-Kata Kunci:

a. Fungsi
Mahkamah memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.

b. Komposisi
Mahkamah terdiri dari 15 orang hakim yang dipilih untuk masa tugas 9 tahun oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan. Pemilihan dilakukan setiap tiga tahun sekali untuk menggantikan sepertiga kursi yang ada. Hakim yang ada dapat dipilih kembali. Keanggotaan hakim tidak merupakan perwakilan dari negara-negaranya melainkan sesuai dengan kapasitas pribadi mereka. Sekalipun demikian, peta geopolitik yang ada pada saat pemilihan sangat mempengaruhi variasi kewarganegaraan sang hakim. Tidak mungkin ada dua hakim yang berasal dari satu negara yang sama.
Jika dalam suatu perkara antar dua negara atau lebih, ada salah satu negara yang tidak memiliki warga negaranya sebagai hakim sementara “lawan”nya memiliki warga negaranya menjadi hakim dalam Mahkamah, maka negara tersebut berhak mengajukan warga negaranya sebagai hakim ad hoc untuk mengadili perkara tersebut.

c. Penanganan Perkara
Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka.
Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1. perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah
2. pernyataan yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3. adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.
Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.

d. Tata Cara penyelesaian sengketa
Ada dua tahap dalam menangani perkara yang diajukan ke Mahkamah. Pertama adalah pengajuan secara tertulis segala argumentasi dari masing-masing pihak disertai dengan bukti-bukti tertulis lainnya. Kemudian para pihak akan saling menyampaikan gagasannya secara lisan melalui rangkaian persidangan melalui agen dan penasehat hukum mereka masing-masing.
Mahkamah menggunakan dua bahasa resmi yaitu Inggris dan Perancis sehingga setiap keterangan baik lisan maupun tulisan selalu akan diterjemahkan ke dalam dua bahasa tersebut.
Sesudah keterangannya dibaca dan didengar hakim akan bersidang secara tertutup dan setelah sampai kepada keputusan baru diumumkan secara terbuka. Keputusan yang diambil adalah final dan tidak ada peradilan banding atasnya.
Jika ada pihak yang “kalah” dalam peradilan tidak mau melakukan kewajibannya sesuai dengan keputusan Mahkamah, maka pihak yang lain bisa mnegajukan perkara tersebut ke Dewan Keamanan.
Mahkamah secara umum akan bersidang dengan jumlah hakim yang lengkap (full court), minimal 9 orang hakim hadir dari 15 hakim yang ada. Namun jika dikehendaki oleh para pihak dapat dilakukan pemeriksaan dengan jumlah hakim yang terbatas (Chamber)

e. Sumber Hukum
Sumber hukum yang dipakai oleh Mahkamah tanpa melihat hirarkinya adalah perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan sumber tambahan adalah keterangan para ahli, ajaran dan doktrin serta keputusan pengadilan

f. Nasehat dan Pendapat Hukum
Hanya organisasi internasional yang bisa mengajukan permintaan kepada Mahkamah untuk memberikan pendapat yang akan berfungsi sebagai nasehat bagi organisasi internasional tersebut dalam memahami atau menjelaskan sebuah perkara hukum.
Dalam upaya memberikan nasehat tersebut, Mahkamah bisa mencari penjelasan dari negara atau organisasi internasional manapun dengan memberikan kebebasan bagi negara-negara ataupun organisasi-organisasi internasional untuk memebrikan informasi atau keterangan baik tertulis ataupun lisan kepada Mahkamah.
Setelah mendengar keterangan dan informasi dari berbagai pihak barulah Mahkamah menuliskan nasehat dan pendapat hukumnya atas pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Mengingat pendapat mereka dalam kasus ini adalah berupa nasehat maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang meminta untuk tunduk dan terikat pada nasehat tersebut.
Namun, dengan tambahan tata cara lain seperti dijanjikan terlebih dahulu oleh para pihak yang meminta, nasehat dari Mahkamah bisa saja ditetapkan untuk mengikat.

Kasus-kasus yang sedang disidangkan

• Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro)
• Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia)
• Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea v. Democratic Republic of Congo)
• Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro)
• Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras)
• Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia)
• Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France)
• Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge(Malaysia/Singapore)
• Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine)
• Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua)

Hukum Laut Internasional

Pendahuluan

Hampir semua wilayah lautan telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional. Oleh karena itu, hukum kebiasaan internasional dalam wilayah laut saat ini menjadi tidak terlalu penting lagi. Namun demikian, upaya-upaya kodifikasi yang dilakukan masih juga membutuhkan kejelasan-kejelasan yang mendorong digunakannya hukum kebiasaan internasional daripada hanya sekedar bersandarkan kepada konvensi-konvensi internasional.

Kata-Kata Kunci:

a. Upaya melakukan kodifikasi:

Upaya untuk melakukan kodifikasi telah dilakukan sejak masa Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations) pada tahun 1930-an dengan menyelenggarakan konferensi kodifikasi hukum laut internasional di Den Haag. Sayangnya konferensi itu tidak berhasil merumuskan ketentuan-ketentuan yang bisa disepakati sebagai hukum laut internasional. Meski demikian, beberapa butir penting dari konferensi itu tetap menjadi bahan utama bagi Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) untuk tetap merumuskannya dalam konferensi-konferensi yang berlangsung dari tahun 1950-1956 dan kemudian mewujud dalam konvensi Jenewa 1958. Empat buah konvensi telah dihasilkan dari serangkaian pertemuan di Jenewa yaitu:

a. The Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone
b. The Geneva Convention on the High Seas
c. The Geneva Convention on the Continental Shelf
d. The Geneva Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
Sebagai sebuah sumber hukum, maka konvensi ini adalah bagian dari perjanjian internasional yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk terhadapnya. Namun demikian, konvensi ini juga mengikat para pihak yang tidak turut serta dalam perjanjian tersebut dengan catatan sebagai berikut:
a. Jika hal-hal yang diatur dalam konvensi tersebut menunjukkan bahwa itu merupakan ketentuan tertulis dari sebuah hukum kebiasaan internasional yang dipraktekkan oleh banyak negara
b. Jika konvensi itu merupakan dampak lanjutan yang terjadi akibat diakuinya suatu perkembangan dalam hukum kebiasaan internasional. Lihat North Sea Continental Shelf Case (1969) ICJ Reports, hal 3
Meski boleh dikatakan sukses namun konvensi ini masih mengandung persoalan terutama terhadap lebar laut teritorial yang diperbolehkan. Masih ada perdebatan yang belum selesai ketika konvensi ini disepakati pada tahun 1960.

Upaya ketiga dari kodifikasi hukum laut internasional diprakarsai oleh PBB dengan menyelenggarakan the United Nations Conference on the Law of the Sea pada tahun 1982 sebagai puncak dari sepuluh tahun negosiasi. Hasilnya dalah The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang disepakati di Montego Bay. Sesuai dengan apa yang diatur dalam konvensi tersebut bahwa konvensi baru berlaku efektif setahun setelah ada negara ke 60 yang meratifikasinya maka konvensi ini baru dinyatakan berlaku pada bulan November 1994. Sehingga sejak tahun itu, ketentuan yang mengatur hukum laut internasional disandarkan kepada aturan-aturan yang ada dalam konvensi tersebut.

b. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Perairan Pedalaman seperti danau, sungai, kanal dan wilayah-wilayah air yang terkepung daratan suatu negara termasuk dalam kedaulatan wilayah negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain, prinsip hukum mengatakan jika ada kapal yang berada pada perairan pedalaman tersebut tunduk kepada yurisdiksi negara tersebut. Dalam praktek, asas kepatutan menjadi dasar yurisdiksi terhadap kapal tersebut yang memenangkan kedaulatan negara atas bendera kapal. Namun demikian hal itu bisa diabaikan bila:
a. Ada permintaan dari negara bendera kapal agar bisa menerapkan territorial jurisdiction bagi negara setempat
b. Tindakan yang dilakukan negara pantai harus dilakukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara pantai tersebut.

c. Laut Wilayah (the Territorial Sea)

Pasal 1 dari Territorial Sea Convention 1958 dan Pasal 2 dari UNCLOS mendefinisikan laut wilayah sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan daratan suatu negara dimana negara memiliki kedaulatan atasnya. Dalam hukum kebiasaan internasional lebar laut wilayah hanyalah 3 mil laut namun sejak UNCLOS pengakuan negara-negara telah berubah menjadi 12 mil laut dari garis batas pantai sebagaimana diatur menurut UNCLOS.
Dalam mengukur garis batas pantai maka Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1958 menegaskan bahwa “ garis batas normal (normal base line) ditetapkan dari garis batas ketika pasang surut seseuai dengan bentuk pantai yang diakui oleh negara pantai tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang diatur oleh Pasal 5 UNCLOS.
Namun demikian ada beberapa tambahan yang diakui dalam UNCLOS yaitu:
1. Straight Baselines (Garis Batas Lurus)
Jika ada negara pantai yang memiliki garis batas pantai yang tidak beraturan sehingga memunculkan lekukan-lekukan dalam dari negara pantai tersebut, dimungkinkan bagi negara pantai untuk menarik garis batas sesuai dengan titik-titik terluar dari bentuk yang berlekuk-lekuk tersebut dengan cara menarik garis lurus diantaranya (lihat Pasal 4 Konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 7 dari UNCLOS). Lihat pula Anglo-Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ reports, hal 116
2. Bays/Teluk
Pasal 7 dan Pasal 10 UNCLOS menyatakan bahwa suatu bagian laut yang menjorok ke dalam yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil dalam suatu negara, dapat memungkinkan negara tersebut untuk menarik garis lurus sehingga semua perairan dalam teluk tersebut menjadi laut wilayah dari negara pantai tersebut.
Jika ternyata bagian dari teluk tersebut merupakan wilayah dari dua atau lebih negara yang berbeda maka harus ada pengaturan khusus dalam sebuah perjanjian diantara negara-negara yang memiliki perbatasan pantai dengannya. Dalam kasus Case Concerning Land, Island and Maritime Frontier Dispute (1992) Mahkamah Internasional memutuskan perlunya kewenangan bersama atas wilayah teluk tersebut kecuali wilayah 3 mil laut sesuai dengan garis pantai negara masing-masing.
3. Garis batas teluk tradisional (Historic Bays)
Suatu wilayah teluk yang telah diklaim menjadi milik suatu negara dan selama ini tidak pernah ada tuntutan balik dari negara-negara lainnya dapat dianggap sebagai perairan pedalaman dari negara yang melakukan klaim atas dasar garis batas teluk yang secara tradisional menjadi wilayah kedaulatan mereka.
Pada laut wilayah negara memiliki kewenangan untuk menegakkan yurisdiksinya. Dalam hal ini negara pantai berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut termasuk dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non hayati dalam air tersebut.
Meski demikian, Pasal 14 dari Konvensi Jenewa memberikan pembatasan terhadap hak negara pantai tersebut untuk tetap menyediakan jalur khusus bagi pelintasan kapal-kapal asing yang akan melewati laut wilayah tersebut. Jalus tersebut sering disebut sebagai Innocent Passage atau Jalur Lintas Damai.
Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-kapal dagang/pariwisata asing untuk secara bebas melintasi jalur tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan orang/lembaga dari negara pantai dengan syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan negara pantai.
Ketika suatu kapal sedang melintasi jalur lintas damai maka negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas baik secara perdata maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang melintas di jalur tersebut. Pasal 19 dan Pasal 20 memberikan pengaturan akan hal itu. Sehingga yurisdiksi yang berlaku di atas kapal adalah yurisdiksi dari negara bendera kapal dan bukan negara pantai kecuali:
1. Dampak atau akibat dari tindak pidana tersebut sampai pada negara pantai yang bersangkutan
2. Jika kejahatan tersebut dilakukan untuk mengacaukan perdamaian dan keamanan dari negara pantai
3. Jika ada permintaan dari kapten kapal atau konsul dan perwakilan diplomatik bendera kapal terhadap negara pantai
4. Jika ada dugaan kuat bahwa kapal tersebut dan awak kapalnya melakukan penyelundupan obat-obatan terlarang

d. Zona Tambahan (the Contiguous Zone)

Pasal 33 dari UNCLOS menyatakan bahwa daerah yang berbatasan langsung antara laut wilayah dan laut lepas dapat diklaim menjadi zona tambahan bagi negara pantai untuk kepentingan-kepentingan sebagai berikut:
1. Mencegah pelanggaran kepabeanan, bea cukai, fiskal, imigrasi atau ruang bagi karantina barang-barang tertentu yang akan masuk negara pantai dari laut.
2. Wilayah untuk menghukum para pelaku pelanggaran dalam butir pertama tersebut
Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil diukur dari garis batas pantai waktu air laut surut. (Lihat Pasal 33[2]) dari UNCLOS

e. Landas Kontinen (the Continental Shelf)

Konsep tentang landas kontinen ini dikemukakan pertama kali oleh Presiden truman yang mengatakan bahwa Landas Kontinen adalah wilayah daratan yang tidak bisa dipisahkan dari daratan negara pantai yang menjorok ke dalam lautan. Dalam hal ini jika daratan tersebut menjorok ke arah laut lepas dengan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan di negara pantai.

Pasal 1 dari konvensi Jenewa mengatakan bahwa landas kontinen adalah wilayah kelanjutan daratan dari negara pantai yang berada di luar laut teritorial dengan kedalaman maksimum 200 meter atau lebih sepanjang bisa dibuktikan masih benar-benar merupakan kesatuan utuh dari daratan negara pantai secara alamiah

Pasal 76 dari UNCLOS menegaskan bahwa landas kontinen adalah:
“the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to the distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance”

f. Dasar Laut (the Deep Seabed and Ocean Floor)

Semula status dari seabed dan dasar lautan diperdebatkan antara res nullius dan res communis namun dalam deklarasi yang mengatur hal itu akhirnya disepakati bahwa dasar lautan adalah “common heritage of mankind” sebuah konsep yang lebih dekat kepada res communis daripada res nullius.

Pasal 133-191 dari UNCLOS mengatur tentang hal ini yang pada prinsipnya menganggap bahwa:
1. Sumber daya dasar lautan adalah milik bersama umat manusia
2. Status dari dasar lautan tidak mempengaruhi status dari laut lepas
3. Eksploitasi Dasar Lautan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi 1982
4. Beberapa persyaratan ditetapkan bagi negara atau perusahaan multinasional yang akan melakukan eksploitasi wilayah dasar laut antara lain adalah kewajiban untuk mengumumkan rencana kerja, kontrak yang dilakukan, pengembangan yang diharapkan, transfer tehnologi ke semua negara dan masa kontrak yang pasti dan jelas.
Hal-hal tersebut telah membuat banyak negara maju yang enggan meratifikasi konvensi 1982 ini.

g. Laut Lepas (the High Seas)

Pasal 2 dari Konvensi Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh meng-klaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar, memancing, meletakkan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta kebebasan untuk terbang di atas udara laut lepas tersebut. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS

Pasal 6 dari Konvensi jenewa menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS.

Namun ada beberapa perkecualian untuk prinsip yang berasal dari hukum kebiasaan internasioal yaitu:
1. Jika ada tabrakan atau kecelakaan laut. Lihat Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A No 10
2. Hak untuk masuk ke kapal bagi negara pantai terdekat jika ada dugaan kuat telah terjadi pembajakan (bajak laut) atau adanya perdagangan budak. Lihat Molvan v Attorney-General for Palestine (1948) AC 351
3. Hot Pursuit sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Konvensi Jenewa. Lihat pula The I’m Alone (1935) 3 RIAA 1609

h. Zona Ekonomi Eksklusif (the Exclusive Economic Zone)

Pasal 55 dari UNCLOS menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah yang berada di luar laut teritorial namun masih merupakan kelanjutannya sejauh tidak melebihi 200 mil laut.
Pasal 56 (1) menyatakan bahwa hak negara pantai dalam ZEE adalah:
1. melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan menjaga kelestarian sumber daya alam baik hayati maupun on hayati termasuk juga wilayah dasar lautan dan eksplorasi di bawah tanah dari laut tersebut.
2. termasuk dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan untuk mendirikan pulau-pulau buatan, instalasi atau bangunan lainnya; penelitian ilmiah dan langkah-langkah perlindungan pelestarian lingkungan laut.
Kasus-kasus yang relevan

• The North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3
• Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116
• Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports, hal 4
• The I’m Alone (1935) 3 RIAA 1609
• Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hal 351: penerapan status hukum dari perairan pedalaman
• Maritime Delimination in the Area between Greenland and Jan Mayen (1993) ICJ Reports, hal 38 terkait dengan dampak dari penerapan garis pantai yang relatif berebda terhadap garis batas landas kontinen di antara dua negara yang bertetangga.

Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press